IBX5980432E7F390 PENGARUH MOTIVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG TUNANETRA - Belajar Ilmiah

PENGARUH MOTIVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG TUNANETRA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi (TI) di Indonesia begitu cepat, baik dari sektor industri, pendidikan otomotif, elektronika dan berbagai elemen kehidupan lainnya. Pada masa sekarang, berbagai metode pemanfaatan dan akses TI telah diterapkan di berbagai sektor kehidupan, mulai dari lembaga pendidikan, perusahaan besar, hingga instansi pemerintah.
Perkembangan TI yang mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)  telah memberikan kemudahan untuk belajar, bekerja, bersosialisasi, dan berkomunikasi di dunia luar. Seiring dengan hal tersebut, komputer sebagai salah satu elemen utama TI telah mengalami perkembangan yang cepat sehingga dapat digunakan untuk menyimpan data dengan kapasitas memori yang besar, memutar suara, video dan lain sebagainya. 
Kemajuan TI sendiri juga telah membawa perubahan yang besar dalam kehidupan orang-orang yang lahir dengan kondisi fisik tidak sempurna, yang biasa disebut penyandang cacat, yang selanjutnya disebut penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus. Dengan adanya teknologi asistif, orang berkebutuhan khusus dapat memanfaatkannya sebagai alat bantu untuk menggantikan fungsi organ tubuh atau panca indera mereka yang tidak berfungsi. Kini orang berkebutuhan khusus dapat berkomunikasi, bersekolah, dan bekerja layaknya orang yang memiliki fungsi fisik sempurna.
Salah satu yang cukup memanfaatkan TI sebagai penunjang kehidupan adalah penyandang tunanetra. PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) (2004) mendefinisikan tunanetra sebagai “mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas)”.   
Dengan hilangnya fungsi penglihatan mereka, otomatis mereka juga kehilangan akses terhadap hal-hal yang seharusnya dapat disaksikan oleh mata yang memiliki fungsi penglihatan sempurna. Mereka tak dapat membaca atau menulis dengan normal, tidak dapat nonton TV atau mengendarai kendaraan seperti orang yang matanya sempurna, dan berbagai hambatan lain yang muncul akibat hilangnya fungsi penglihatan. Hal itu dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup tunanetra itu sendiri, yang menyebabkan mereka mengalami kemunduran, tekanan jiwa, bahkan diskriminasi. 
Dengan semakin berkembangnya TI, kini tunanetra dapat memakainya sebagai alat bantu pengganti fungsi mata yang hilang. Mereka dapat memperoleh informasi mengenai lingkungan sekitarnya, bersekolah secara inklusif di lembaga pendidikan umum, bekerja di kantor atau perusahaan, bahkan memenuhi kebutuhan sampingan seperti main game atau membaca novel.
Sayangnya, tak semua tunanetra di Indonesia, termasuk lingkungan sosial di sekitarnya,  menyadari bahwa TI dapat menjadi alat bantu yang cukup bermanfaat untuk menunjang kehidupan tunanetra. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Kurangnya motivasi, baik yang bersumber dari diri sendiri maupun yang bersumber dari lingkungan sekitar.
2. Kurangnya dukungan dan dorongan dari pihak-pihak terdekat, yaitu orangtua dan keluarga, yang menyebabkan tunanetra mengalami tekanan jiwa dan kehilangan rasa percaya diri.
3. Adanya punishment, di mana masyarakat tak menerima keberadaan tunanetra, karena menganggap mereka berbeda dan perbedaan tersebut menjadikan tunanetra tak sempurna, yang berpengaruh pada status sosial tunanetra yang ikut menjadi tidak sempurna.
4. Tunanetra cenderung merasa pasrah dengan keadaannya, asalkan dapat makan dan minum maka segalanya sudah tercapai.
5. Sifat minder serta kurang percaya diri, menyebabkan tunanetra malu dan takut untuk belajar.
6. TI dianggap sebagai barang mahal yang hanya menghabiskan biaya dan sumber daya.
7. Adanya pemahaman bahwa TI sulit dipelajari dan tidak mungkin dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan.
8. Bagi yang mampu kadang merasa sombong, sehingga berhenti belajar dan tak mau mengikuti perkembangan TI.
Bagi tunanetra Indonesia yang menerima dan menggunakan TI dalam kehidupannya pun harus melewati proses belajar yang tidak mudah, pasalnya tidak semua hardware dan software dapat langsung digunakan oleh tunanetra. Hardware dan software itu hendaknya aksesibel, maksudnya dapat diakses dengan mudah oleh tunanetra. Contoh yang paling mudah adalah jam bicara, jadi tunanetra dapat mengakses fungsi waktu dari jam dengan mendengarkan informasi yang disuarakan oleh jam tersebut.
Selain masalah di atas, tunanetra pun harus berhadapan dengan hal-hal yang menyebabkan mereka mengalami tekanan jiwa. Contoh paling dekat adalah kurangnya dukungan dari pihak keluarga, sehingga tunanetra tidak memperoleh akses akan dunia luar, tidak dapat bergaul seperti halnya anak-anak berfisik sempurna pada umumnya, atau bersosialisasi secara normal.
Saat keluar rumah tak jarang mereka dihina karena kondisi fisiknya, demikian juga saat sekolah atau bekerja, tunanetra masih belum memperoleh hak dan kewajiban yang seharusnya juga diperolehnya. Kurangnya sarana dan prasarana di Indonesia juga cukup menghambat tunanetra untuk dapat menguasai dan memanfaatkan TI. Demikian pula dengan tenaga pengajar, dosen, konsultan, atau ilmuwan yang mengkhususkan diri mengabdi untuk perkembangan TI bagi tunanetra yang jumlahnya masih sedikit, sehingga tunanetra kesulitan untuk belajar dan memanfaatkan TI.

1.2 Masalah Pokok Skripsi
Bertolak dari latar belakang di atas terlihat bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas hidup tunanetra sangat dipengaruhi oleh adanya motivasi. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi pun dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi keberhasilan upaya tersebut. Mengingat bawa persoalan-persoalan di atas yang sangat luas sehingga untuk dapat membahas dan menganalisa secara tuntas dan menyeluruh akan memerlukan kemampuan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang luas pula.
Dengan harapan agar pembahasan skripsi dapat lebih terarah sesuai dengan topik penelitian yang diarahkan untuk mempermudah pembahasan yang menguraikan pada bab-bab selanjutnya, maka masalah-masalah yang penulis pilih untuk diketengahkan dalam pembahasannya, adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh motivasi serta pemanfaatan teknologi informasi dalam meningkatkan kualitas hidup tunanetra, dalam hal ini penulis memfokuskan pada pengalaman hidup penulis sendiri sebagai tunanetra. 
2. Sejauh manakah motivasi dan teknologi informasi dapat mengatasi kendala serta tantangan yang dihadapi tunanetra, dalam hal ini, fokus pada pengalaman pribadi yang penulis alami. 
3. Faktor apa saja yang menghambat tunanetra untuk dapat hidup sejajar seperti halnya orang-orang yang memiliki fisik sempurna, serta bagaimana motivasi dan teknologi informasi dapat mengubah hambatan-hambatan tersebut menjadi peluang bagi tunanetra untuk dapat hidup lebih baik.

1.3 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu anggapan dasar daripada suatu argumentasi suatu masalah yang dianggap benar untuk sementara, sedang untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya dari argumen tersebut masih harus dibuktikan melalui uraian selanjutnya dan kaitannya dengan hipotesa ini adalah sebagai berikut:
1. Apabila tunanetra dapat membangkitkan motivasi positif dalam dirinya, diharapkan akan tercipta semangat dalam usaha-usaha peningkatan kualitas hidup seperti bersosialisasi, bersekolah, bekerja, bahkan hidup normal bersama masyarakat di sekelilingnya. 
2. Apabila tunanetra dapat memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat bantu, maka akan mengubah hambatan hidup menjadi peluang hidup, sehingga dapat beraktivitas dan menjalaninya dengan lebih mudah.
3. Apabila tunanetra telah dapat membangkitkan motivasi dan memanfaatkan teknologi informasi, diharapkan hal ini dapat menjadi contoh positif, baik bagi rekan-rekannya sesama tunanetra, keluarga dan relasi dari tunanetra yang bersangkutan, dan untuk masyarakat luas secara umum. Dengan demikian, harkat dan martabat tunanetra pun akan naik, karena masyarakat menyadari dan membuktikan sendiri bahwa tunanetra pun dapat hidup layak dan ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat. 
Inilah rangkuman hipotesis dalam skripsi yang penulis buat, hipotesis ini ada terlihat dalam gambaran pada penjabaran Bab IV dan Bab V dalam skripsi ini.

1.4 Tujuan Penelitian
        Penelitian ini memiliki tujuan antara lain:
a. Untuk memberikan gambaran bahwa tunanetra dapat menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi.
b. Untuk memberikan gambaran betapa pentingnya motivasi sebagai penggerak utama bagi tunanetra untuk menguasai teknologi informasi.
c. Untuk memberikan gambaran strategi serta langkah-langkah yang dapat diambil tunanetra untuk memaksimalkan kualitas hidupnya dengan bekal motivasi dan teknologi informasi. 

1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan dan mengguraikan kejadian yang sedang terjadi berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.
Adapun tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan,  yaitu cara memperoleh data dengan mempelajari buku-buku ,catatan surat kabar dan media online yang menyajikan informasi yang ada hubungannnya dengan masalah yang sedang dibahas.    
2. Studi lapangan yaitu cara memperoleh data dengan melaksanakan  penelitian secara langsung pada objek yang sedang diteliti dengan cara:
a. Observasi, yaitu memperoleh data dengan cara melakukan pengamatan lalu mencatat peristiwa serta keterangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini penulis mengambil objek beberapa orang tunanetra, dan sebagian besar objek penelitian adalah berdasar pada pengalaman hidup yang penulis alami.   
b. Wawancara, yaitu cara memperoleh data dengan mengadakan tanya jawab dengan orangtua penulis, dengan beberapa orang tunanetra, dan dengan staff pengajar tunanetra yang dianggap dapat memberi keterangan atau informasi yang dibutuhkan.

1.6 Pembabakan Skripsi
Dengan tujuan untuk memperjelas batasan-batasan yang diuraikan dalam skripsi ini secara keseluruhan, maka secara kronologis dan sistematis batasan dalam skripsi ini penulis bagi dalam bab dan sub bab, masing masing bab dan sub bab saling berkaitan serta saling isi mengisi sehingga secara keseluruhan akan merupakan suatu karangan ilmiah yang dapat dimengerti dan diterima oleh para pembaca.
Secara lengkapnya uraian yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini adalah sbb:
1. Bab I adalah merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang permasalahan penulisan, masalah pokok skripsi yang menjadi batasan skripsi, uraian tentang anggapan dasar sementara yang dianggap benar sebagai pemecahan masalah berupa hipotesa, tujuan penelitian, metode penelitian yang dilaksanakan dalam rangka memperoleh data dan informasi, dan menguraikan pembabakan skripsi yang penulis pergunakan untuk menjelaskan urut-urutan pembahasan skripsi ini.
2. Bab II adalah bab yang berisi uraian tentang teori-teori dari kehidupan sosial, pengertian tunanetra, motivasi bagi tunanetra, sejarah teknologi informasi bagi tunanetra, serta hubungan antara motivasi dan penguasaan teknologi informasi bagi tunanetra. 
3. Bab III berisi tinjauan mengenai pribadi penulis sebagai objek utama, meliputi perkembangan jiwa anak, perkembangan pendidikan, perkembangan remaja, penguasaan teknologi, semangat hidup, dan kemandirian sebagai tunanetra.
4. Bab IV menguraikan tentang kekuatan tunanetra, kelemahan tunanetra, peluang dan tantangan dalam membangun motivasi dan memanfaatkan teknologi informasi, dan harapan-harapan yang hendak dicapai serta proses-proses penanggulangannya.  .
5. Bab V berupa bab tentang kesimpulan dan saran-saran.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Kejiwaan Penyandang Tunanetra
2.1.1. Pengertian Tunanetra
Menurut batasan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) tunanetra adalah individu yang berindera penglihatan lemah pada kedua matanya sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kemampuan membaca tulisan atau huruf cetak ukuran normal (ukuran huruf ketik pika) pada keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata, sampai dengan mereka yang buta total (Anggaran Rumah Tangga Pertuni tahun 1993, Pasal 1:1).
Dengan demikian, yang disebut tunanetra bukan hanya mereka yang tidak dapat melihat sama sekali (totally blind), tapi juga mereka yang lemah penglihatan (low vision) sesuai spesifikasi yang tercantum di atas. Untuk orang-orang yang berpenglihatan sempurna, PERTUNI memberikan definisi “orang awas,” artinya mereka yang dapat memfungsikan penglihatannya secara sempurna.
2.1.2. Kepribadian 
Byrne dan Kelly (1981:31) mendefinisikan kepribadian sebagai "Sum total of all of the relatively enduring dimensions of individual differences" (gabungan semua dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu, yang membedakannya dengan individu-individu lain). Definisi tersebut menyiratkan bahwa kepribadian itu merupakan gambaran menyeluruh tentang keadaan individu berdasarkan dimensi-dimensinya, dan bahwa individu itu unik, sehingga tidak ada dua orang individu yang memiliki kepribadian yang persis sama.
Ferguson (1970 dalam Zimbardo, 1977:409) mendefinisikan kepribadian sebagai berikut: "... personality is the sum total of the ways in which an individual characteristically reacts to and interacts with others and with objects” (Kepribadian adalah gabungan semua cara khas seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu-individu lain dan dengan obyek-obyek). Definisi tersebut menyiratkan bahwa kepribadian seseorang itu dapat dilihat dari caranya bereaksi dan berinteraksi dengan lingkungannya, dan setiap orang bereaksi dan berinteraksi dengan caranya masing-masing yang khas. Bila kita menggabungkan kedua definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kepribadian adalah gabungan dimensi-dimensi yang relatif bertahan lama pada diri seorang individu, yang ditunjukkan oleh caranya yang khas dalam bereaksi dan berinteraksi dengan individu-individu lain dan dengan obyek-obyek, yang menunjukkan perbedaannya dengan individu-individu lain. Berdasar pada landasan teori di atas maka dapat diasumsikan bahwa ketunanetraan pada diri individu merupakan ciri khas bukan berbeda menurut harkat martabat yang membedakan pribadinya dengan pribadi individu lain, karena ketunanetraan yang dialaminya akan mempengaruhi caranya bereaksi dan berinteraksi dengan individu atau objek di sekitarnya.  

2.1.3. Perkembangan Pribadi Tunanetra
Pada tahun 1954, Julian Rotter memperkenalkan satu varian dari pendekatan teori belajar yang dinamakan social learning theory. Teori social learning tidak memandang manusia sebagai dikontrol oleh kekuatan-kekuatan internal, dan tidak pula sebagai boneka yang tak berdaya terhadap pengaruh-pengaruh lingkungannya. Melainkan, teori ini berpendapat bahwa sebaiknya fungsi psikologis itu dipahami sebagai suatu interaksi timbal-balik antara perilaku dengan kondisi-kondisi yang mengontrolnya (Bandura, 1971 dalam Zimbardo, 1977:428).
Berbeda dengan teori-teori belajar lainnya (misalnya teori operant conditioning dari Skinner), pendekatan belajar sosial ini menekankan bahwa proses kognitif manusia berperan dalam kegiatan belajar dan mempertahankan pola-pola perilaku. Teori social learning meyakini pentingnya situasi eksternal dan peranan reinforcement dalam menentukan perilaku, dan bahwa stimuli memainkan peranan yang kuat dalam menentukan perilaku, tetapi di samping itu teori ini juga menekankan pentingnya proses kognitif "yang terjadi di dalam kepala".
Teori social learning ini mengemukakan bahwa orang dapat belajar sesuatu secara tidak langsung melalui pengamatan terhadap orang lain, di samping belajar melalui pengalaman langsung. Lebih jauh, orang dapat menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa eksternal secara kognitif, sehingga memungkinkan mereka meramalkan kemungkinan konsekuensi tindakannya tanpa harus benar-benar mengalaminya. Di samping itu, individu mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri, dan dengan kemampuan tersebut dia mengevaluasi perilakunya sendiri (berdasarkan standar pribadinya) dan menciptakan penguatan sendiri (misalnya dengan merestui perbuatannya sendiri (self-approval) atau menyesali perbuatannya sendiri (self-reproach). Kapasitas mengatur diri sendiri ini memungkinkan individu mengontrol tindakannya sendiri, bukannya dikontrol oleh kekuatan-kekuatan eksternal.
Dalam pengembangan teori Social Learning, Bandura melakukan penelitian yang disebutnya Observational Learning (belajar melalui pengamatan) (Zimbardo, 1977:429). Menurut hasil penelitian tersebut, banyak perilaku yang ditampilkan individu dipelajari atau dimodifikasi dengan memperhatikan dan meniru model melakukan tindakan-tindakan tersebut. Model tersebut dapat mencakup orang tua, guru, teman, bintang televisi, tokoh kartun, dan lain-lain. Pengaruh modeling itu ditentukan oleh empat proses yang saling terkait:
1. Proses Perhatian (Attentional Processes). Orang akan belajar dari seorang 
model hanya jika mereka memperhatikan dan mengenali aspek-aspek terpenting dari perilaku model itu. Model yang menarik atau dipersepsi sebagai mirip dengan observer akan lebih besar kemungkinannya untuk berpengaruh, dan demikian pula halnya dengan model yang sering muncul dengan menampilkan perilaku fungsional yang penting. Model-model tertentu (seperti yang ditayangkan di televisi) begitu efektif dalam menarik perhatian sehingga penonton akan meniru aktivitas model tersebut meskipun individu tidak memiliki insentif khusus untuk berbuat demikian. 
2. Proses Pengingatan (Retention Processes). Pengaruh seorang model 
tergantung pada kemampuan individu untuk mengingat tindakan model itu sesudah dia hilang dari pandangan. Pengkodean simbolik (symbolic coding) dan pengulangan dalam hati (mental rehearsal) untuk perilaku model merupakan dua proses yang membantu meningkatkan daya ingat. 
3. Proses Reproduksi Motorik (Motoric Reproduction Processes). Bila orang belajar perilaku baru dengan mengamati seorang model, mereka tidak akan dapat 
menunjukkan bukti hasil belajarnya itu tanpa menampilkan aktivitas yang ditirunya itu. Jika mereka memiliki kekurangan dalam keterampilan tertentu, maka mereka tidak akan dapat melakukan apa yang telah mereka amati itu. 
4. Proses Penguatan dan Motivasi (Reinforcement and Motivational Processes). 
Apakah perilaku yang telah dipelajari itu akan ditampilkan atau tidak, tergantung pada apakah perilaku tersebut akan mendapatkan imbalan (reward) atau hukuman 
(punishment). Jika terdapat insentif yang positif, maka perilaku yang ditiru itu akan memperoleh lebih banyak perhatian, dipelajari dengan lebih baik, dan ditampilkan lebih sering.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan kepribadian tunanetra dapat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya, model yang dicontohnya, lingkungan tempat ia berada, dan keyakinan yang dianutnya. Semakin besar input psitif yang diterima, maka semakin besar pula nilai-nilai positif yang tumbuh dalam diri tunanetra. Namun, semakin besar nilai-nilai negatif yang diterimanya, maka pribadinya pun akan tumbuh menjadi pribadi yang negatif.
2.1.4. Pengaruh Ketunanetraan Terhadap Kepribadian Tunanetra 
Ketunanetraan mempunyai pengaruh yang luas terhadap proses perkembangan individu. Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan dampak ketunanetraan itu pada bidang-bidang perkembangan yang memiliki kaitan langsung dengan perkembangan kepribadian, yaitu perkembangan sosial dan emosi, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, dan perkembangan mobilitas. 
a. Dampak Emosional
Bayangkan sebuah keluarga tiba-tiba mendapati bahwa seorang anaknya menjadi tunanetra. Bagaimanakah perasaan keluarga tersebut? Ayah dan ibunya mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan; mereka mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara; mereka mungkin merasa kecewa, sedih, malu, dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap anaknya itu. Mary Kingsley (dalam Mason & McCall, 199:24) mengemukakan bahwa skenario seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat. Dalam keadaan seperti itu keluarga tersebut perlu memperoleh bantuan untuk menyadari bahwa keadaan tersebut tidak sepenuhnya suram. Dengan bantuan dan pengajaran yang tepat, anak tunanetra itu akan mampu mengembangkan berbagai keterampilan yang dibutuhkannya untuk merealisasikan seluruh potensinya dan menjadi orang dewasa yang mandiri, mencapai keseimbangan yang baik, dan mampu menyesuaikan dirinya secara sosial. 
Kingsley mengemukakan bahwa biasanya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang "normal" itu dalam tiga tahap: tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan; meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses "duka cita" ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
b.   Masa Bayi
Faktor-faktor lain, seperti tingkat pemahaman orang tua mengenai ketunanetraan, juga akan mempengaruhi hubungan orang tua-anak pada masa dini. Elstner (1983), dalam Mason & McCall, 1999)24), dalam telaahannya mengenai abnormalitas dalam komunikasi verbal anak tunanetra, mengemukakan bahwa kita perlu mempertimbangkan perspektif orang-orang awas dalam lingkungan bayi tunanetra. Secara tak sadar, untuk memicu respon kasih sayang mereka terhadap bayi tunanetra itu, mereka mengharapkan bayi tersebut menampilkan reaksi dan pola perilaku sebagaimana yang lazim ditampilkan oleh bayi awas. Oleh karena itu, mereka salah tafsir terhadap wajah bayi tunanetra yang tanpa ekspresi itu bila hal itu ditafsirkannya sebagai mencerminkan penolakan atau tak berminat terhadap orang-orang di sekitarnya. Kita biasanya mengharapkan bayi menatapkan pandangannya kepada kita sebagai tanda adanya komunikasi sesuatu yang tidak dilakukan oleh seorang bayi tunanetra. Tidak tersambungkannya hubungan komunikasi tersebut, menurut formulasi Wills (1978 dalam Mason & McCall, 1999:24), disebabkan karena anak tunanetra dan orang-orang awas di sekitarnya berkomunikasi dalam "wavelengths" yang berbeda.
c. Masa Pra-Sekolah
Masalah dapat timbul pada saat anak tunanetra itu memasuki masa usia pra-sekolah. Dalam kegiatan bermain dengan sebayanya, dia mungkin sering diacuhkan oleh teman-temannya. Kingsley (dalam Mason & McCall, 1999:24) mengemukakan bahwa pada masa ini anak-anak bermain secara paralel untuk beberapa saat lamanya, melakukan kegiatan yang sama tetapi tidak bekerjasama. Kerjasama itu dipelajarinya melalui proses saling mengamati bermain dan melakukan kontak mata. Akibat kehilangan indera penglihatannya, anak tunanetra itu tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan oleh teman-temannya, dan akibatnya dia mungkin tidak akan diajak untuk turut serta. Kekurangan tersebut seyogyanya dapat diatasi dengan bantuan orang dewasa yang memahami kebutuhan khusus anak tunanetra tersebut, misalnya dengan memberikan deskripsi verbal tentang apa yang tengah terjadi di lingkungannya sehingga anak itu terangsang untuk turut melibatkan diri.
d. Bahasa Tubuh
Pada saat anak sudah lebih besar, mereka memerlukan keterampilan untuk mengawali dan mempertahankan hubungan sosial. Bahasa tubuh (body language) merupakan sarana komunikasi yang penting untuk melengkapi bahasa lisan di dalam komunikasi sosial. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai dengan bahasa tubuh kawan-kawannya, sejauh tertentu sosialisasinya mungkin akan terganggu. Bayangkan, misalnya, seorang mahasiswa yang masih mengangkat tangannya tinggi-tinggi pada saat hendak mengajukan pertanyaan di kelas sebagaimana yang dilakukannya di taman kanak-kanak. Pada awal masa sekolahnya, anak tunanetra mungkin diajari oleh gurunya untuk mengangkat tangan setinggi mungkin bila hendak bertanya atau menjawab pertanyaan. Dia tidak menyadari dan tidak ada orang yang pernah memberitahukan kepadanya bahwa dengan bertambahnya usia dan semakin tingginya tingkat sekolah, isyarat itu semakin kecil hingga sekedar sedikit mengangkat jari saja seperti yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi.
e. Nuansa bahasa tubuh yang luwes yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku sebagaimana yang dapat kita amati pada anak awas pada umumnya, sangat kontras dengan bahasa tubuh yang terkadang sangat kaku yang dapat kita amati pada banyak anak tunanetra (Kingsley dalam Mason & McCall, 1999:25).
f. Penyesuaian Sosial
Terdapat banyak bukti yang bertentangan tentang apakah individu tunanetra kurang baik penyesuaian dirinnya dibanding anak awas. Karena penelitian itu tidak memperlihatkan bahwa anak tunanetra pada umumnya tidak mampu menyesuaikan diri, maka kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kepribadian bukan kondisi yang melekat dengan ketunanetraan (Hallahan & Kauffman, 1991:313).
Cutsforth (1951 dalam Hallahan & Kauffman, 1991) adalah salah seorang ahli pertama yang menekankan bahwa jika ketidakmampuan menyesuaikan diri terjadi pada diri seseorang, hal itu lebih diakibatkan oleh cara masyarakat memperlakukan orang tunanetra tersebut. Pada intinya, reaksi masyarakat terhadap ketunanetraanlah yang menentukan tingkat penyesuaian diri individu tunanetra itu. Bila individu tunanetra tidak diterima oleh mereka yang non-cacat, banyak profesional percaya bahwa hal itu karena beberapa di antara mereka mengalami kesulitan memperoleh keterampilan sosial, seperti cara menunjukkan ekspresi wajah yang tepat.

2.2. Peluang dan Tantangan Tunanetra
Bila kita merujuk pada sub bab sebelumnya, maka hilangnya fungsi penglihatan dapat menjadi tantangan bagi tunanetra untuk dapat hidup seperti halnya orang awas. Namun, dengan memahami tantangan yang dialami tunanetra, maka diharapkan, baik tunanetra itu sendiri  atau pun orang awas, dapat membantu tunanetra mengubahnya menjadi peluang hidup. (www.livestrong.com/article/241936-challenges-that-blind-people-face ). Berikut ini garis besar tantangan-tantangan yang umum dihadapi oleh tunanetra. Tantangan-tantangan tersebut adalah sbb:
2.2.1. Interaksi Fisik
Menurut World Access for the Blind, tantangan terbesar bagi tunanetra adalah interaksi fisik. Akibat hilangnya fungsi penglihatan, tunanetra akan menemui kesulitan bergerak dan berorientasi di tempat-tempat yang tidak dikenalnya. Untuk berjalan di jalan yang ramai misalnya, mereka umumnya membawa pendamping orang awas, atau memanfaatkan tongkat untuk memandu jalan.
Selain itu, tunanetra perlu menghapal dengan seksama keadaan lingkungan sekitarnya. Apabila ia tinggal bersama anggota keluarga di sebuah bangunan, pastikan jalan-jalan yang biasa dilalui tunanetra bebas dari rintangan contohnya benda pecah belah atau benda besar. Keadaan akan bertambah sulit bila benda-benda yang biasa dipergunakan secara rutin, misalnya Audio CD atau perangkat hiburan, dipindah-pindahkan tanpa memberitahu tunanetra yang bersangkutan.
2.2.2. Interaksi Sosial
Kebutaan sering menimbulkan tantangan sosial, terutama untuk aktivitas di mana tunanetra tak dapat ikut berpartisipasi di dalamnya. Menurut World Health organisation (WHO), kebutaan akan menghambat seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu, sehingga membatasi peluang mereka untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, atau status sosial lainnya. Hal ini tak hanya mempengaruhi keadaan finansial, namun juga rasa percaya diri tunanetra yang bersangkutan.
Kebutaan juga membatasi aktivitas sosial lain, seperti olahraga dan pendidikan. Tunanetra membutuhkan layanan khusus agar dapat ikut proses pendidikan, dan mereka tentunya tak dapat berolahraga yang membutuhkan fungsi mata seperti menembak atau balap mobil. 
Pada kasus yang paling sederhana, membuat janji untuk bertemu dengan seseorang, tunanetra akan dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, karena ia tak dapat mengidentifikasi tempat bertemu atau ciri-ciri orang yang hendak ditemuinya.
2.2.3. Pemanfaatan Teknologi
Karena tunanetra tak dapat melihat, maka ia akan kesulitan mengoperasikan peralatan elektronik atau teknologi canggih yang tidak didesain khusus untuk mengakomodasi kebutuhan mereka.
Seperti dicontohkan University of Wisconsin, tunanetra atau orang yang memiliki keterbatasan penglihatan akan menemui kesulitan saat hendak mengakses halaman web beserta konten di dalamnya. Mereka membutuhkan aplikasi khusus yang dapat mengubah informasi yang ditampilkan ke bentuk informasi yang dapat diterima oleh indera mereka yang masih berfungsi, namun hal tersebut membutuhkan proses belajar serta biaya yang tidak sedikit.
Untuk mengoperasikan benda-benda elektronik seperti mesin cuci, kompor gas, atau ponsel, tunanetra perlu menghapal dan memahami dengan seksama fungsi dan cara penggunaan alat-alat tersebut. Terkadang hal itu menjadikan tunanetra kurang mandiri, misalnya ketika ia mengoperasikan ponsel yang tidak didesain khusus untuk tunanetra, ketika ada pesan singkat (SMS) masuk, ia membutuhkan bantuan orang awas untuk membacakan isinya, sehingga ketika tak ada orang awas yang membantunya, tunanetra tak dapat mengakses informasi yang dibutuhkannya.

2.3. Motivasi Penyandang Tunanetra
2.3.1. Pengertian Motivasi 
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang sesungguhnya (Pintrich, 2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987) motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif.
Menurut Morgan (dalam Soemanto, 1987) motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah:
1. keadaan yang mendorong tingkah laku ( motivating states ),
2. tingkah laku yang di dorong oleh keadaan tersebut ( motivated behavior ),
3. Tujuan dari pada tingkah laku tersebut ( goals or ends of such behavior ).
Dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah merupakan sejumlah proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke tujuan tertentu, baik yang bersifat internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi. (www://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/teori-motivasi-abraham-maslow-2/
Teori motivasi Abraham Maslow).
2.3.2 Teori-Teori Motivasi
A. Teori motivasi Abraham H. Maslow
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan,yaitu:
1) Kebutuhan yang bersifat fisiologis (lahiriyah). Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Bagi karyawan, kebutuhan akan gaji, uang lembur, perangsang, hadiah-hadiah dan fasilitas lainnya seperti rumah, kendaraan dll. Menjadi motif dasar dari seseorang mau bekerja, menjadi efektif dan dapat memberikan produktivitas yang tinggi bagi organisasi.
2) Kebutuhan keamanan dan ke-selamatan kerja (Safety Needs) Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
3) Kebutuhan sosial (Social Needs).
Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, mening-katkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
4) Kebutuhan akan prestasi (Esteem Needs).
Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbul-simbul dalam statusnya se¬seorang serta prestise yang ditampilkannya.
5) Kebutuhan mempertinggi kapisitas kerja (Self actualization).
Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen
B. Teori Motivasi Herzberg
Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktorhigiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik). 
C. Teori Motivasi Douglas McGregor
Mengemukakan dua pandangan manusia yaitu teori X (negative) dan teori y (positif), Menurut teori x empat pengandaian yag dipegang manajer
a. karyawan secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai kerja
b. karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
d. Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua factor yang dikaitkan dengan kerja.
Kontras dengan pandangan negative ini mengenai kodrat manusia ada empat teori Y :
a. karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti istirahat dan bermain.
b. Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran.
c. Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.
D. Teori Motivasi Vroom (1964)
Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
a) Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas 
b) Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu).
c) Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan
E. Achievement Theory Mc Clelland (1961)
 Yang dikemukakan oleh Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
a) Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
b) Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
c) Need for Power (dorongan untuk mengatur)
F. Teori Motivasi Clayton Alderfer ERG
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi.  
2.3.2. Faktor-faktor Motivasi Internal Tunanetra
a. Cita-cita atau aspirasi
Sejak dini, hendaknya orangtua menanamkan nilai-nilai kesempurnaan dalam diri tunanetra,, dan membantu mengatasi kekurangannya dari segi penglihatan, sehingga, memberi kesempatan untuk belajar dan bekerja, serta memberikan pengetahuan tentang disiplin dan tanggungjawab. Dengan demikian tunanetra dapat menyuarakan aspirasi dan membangun cita-cita yang sama dengan orang awas.
b. Kondisi jasmani dan rohani
Bila tunanetra diberikan pemahaman yang benar tentang kondisi jasmani dan rohaninya, maka ia dapat menumbuhkan motivasi berdasar pada pemahaman bahwa kondisi jasmani yang kurang sempurna bukan merupakan penghambat, namun sebuah tantangan agar ia mampu mengoptialkan anggota tubuhnya yang lain untuk menutupi kekurangan jasmaniah yang disandangnya. Dengan pemahaman rohaniah yang baik, tunanetra dapat menumbuhkan motivasi berdasarkan pada pemahaman bahwa Allah akan selalu menyertai hambanya yang sabar dan ikhtiar.
c. Dorongan untuk berprestasi
Dorongan yang menjadikan tunanetra punya keinginan berprestasi, sehingga ia dapat kreatif menyiasati kekurangan fisik yang disandangnya, dan mengoptimalkan kemampuannya yang lain untuk meraih prestasi yang diinginkannya. 
d. Keuletan dalam mengatasi tantangan Sifat ulet akan menjadikan tunanetra pantang menyerah, baik terhadap hambatan yang muncul dari dirinya sendiri (malas, minder, sombong, dan lain-lain) atau hambatan yang datangnya dari luar dirinya (diskriminasi, tanggapan negatif lingkungan sekitar, dan lain-lain).
2.3.3. Faktor-faktor Motivasi Eksternal Tunanetra
a. Dukungan orangtua dan keluarga. 
Adanya sikap positif dari pihak terdekat, dalam hal ini, orangtua dan keluarga merupakan langkah penanaman motivasi eksternal terbaik yang dapat diberikan pada tunanetra sebelum mereka mulai keluar dari lingkungannya. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi bagi tunanetra, sehingga ia mampu hidup dengan normal di lingkungan keluarganya, dan hal tersebut dapat juga diterapkannya pada lingkungan luar.
b. Dukungan lingkungan sosial
Sumber motivasi eksternal selanjutnya adalah bagaimana masyarakat dan lingkungan sekitar bereaksi dan berinteraksi dengan tunanetra. Bila tunanetra diberikan kesempatan untuk dapat bersosialisasi dengan wajar, maka ia pun dapat belajar hidup normal dan bersosialisasi seperti apa yang dipelajarinya dari lingkungan sekitar. Bila nilai-nilai positif yang diterimanya, maka akan positif pula umpan balik yang akan diberikannya.
c. Dukungan sarana dan prasarana
Motivasi eksternal ini, meski sifatnya tidak mutlak, akan sangat membantu dalam meningkatkan motivasi tunanetra. Adanya fasilitas belajar mengajar yang memadai, dibangunnya sarana transportasi dan navigasi yang mengindahkan standarisasi bagi tunanetra, serta tersedianya akses terhadap teknologi informasi akan membuka peluang di berbagai bidang sosial, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hiburan, bahkan persamaan hak dan kewajiban dalam bernegara dan bermasyarakat.
2.4. Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Bagi Tunanetra
2.4.1. Sejarah Singkat Teknologi Informasi
Secara umum teknologi informasi dapat diartikan sebagai kegiatan atau proses pemanfaatan, pengambilan, pengumpulan (akuisisi),  pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006: 6). Tercakup dalam definisi tersebut adalah semua perangkat keras, perangkat lunak, kandungan isi, dan infrastruktur komputer maupun telekomunikasi. Istilah TIK atau ICT (Information and Communication Technology), atau yang di kalangan negara Asia berbahasa Inggris disebut sebagai Infocom, muncul setelah berpadunya teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunaknya) dan teknologi komunikasi sebagai sarana penyebaran informasi sebagai perpaduan pada paruh abad ke 20.
Bila dilacak ke belakang, terdapat beberapa tonggak perkembangan teknologi yang secara nyata memberi sumbangan terhadap eksistensi TIK saat ini. Pertama adalah temuan telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1875. Temuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan penggelaran jaringan komunikasi dengan kabel yang melilit seluruh daratan Amerika, bahkan kemudian diikuti pemasangan kabel komunikasi trans atlantik. Inilah infrastruktur masif pertama yang dibangun manusia untuk komunikasi global. 
Memasuki abad ke-20, tepatnya antara tahun 1910-1920, terealisasi transmisi suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama (Lallana, 2003:5). Komunikasi suara tanpa kabel segera berkembang pesat, dan kemudian bahkan diikuti pula oleh transmisi audio visual tanpa kabel, yang berwujud siaran televisi pada tahun 1940-an. Komputer elektronik pertama beroperasi pada tahun 1943, yang kemudian diikuti oleh tahapan miniaturisai komponen elektronik melalui penemuan transistor pada tahun 1947, dan rangkaian terpadu (integrated electronics) pada tahun 1957. 
Perkembangan teknologi elektronika, yang merupakan soko guru TIK saat ini, mendapatkan momen emasnya pada era perang dingin. Persaingan IPTEK antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (eks Uni Sovyet) justru memacu perkembangan teknologi elektronika lewat upaya miniaturisasi rangkaian elektronik untuk pengendali pesawat ruang angkasa maupun mesin-mesin perang. 
Miniaturisasi komponen elektronik, melalui penciptaan rangkaian terpadu, pada puncaknya melahirkan mikroprosesor. Mikroprosesor inilah yang menjadi otak perangkat keras komputer, dan terus berevolusi sampai saat ini.
Di lain pihak, perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat mulai diimplementasi-kannya teknologi digital menggantikan teknologi analog yang mulai menampakkan batas-batas maksimal pengeksplorasiannya. Digitalisasi perangkat telekomunikasi kemudian berkonvergensi dengan perangkat komputer yang dari awal merupakan perangkat yang mengadopsi teknologi digital. Produk hasil konvergensi inilah yang saat ini muncul dalam bentuk telepon seluler. Di atas infrastruktur telekomunikasi dan komputasi  inilah kandungan isi (content) berupa multimedia, mendapatkan tempat yang tepat untuk berkembang. 
Konvergensi telekomunikasi komputasi multimedia inilah yang menjadi ciri abad ke-21, sebagaimana abad ke-18 dicirikan oleh revolusi industri. Bila revolusi industri menjadikan mesin-mesin sebagai pengganti otot manusia maka revolusi digital (karena konvergensi telekomunikasi-komputasi-multimedia terjadi melalui implementasi teknologi digital) menciptakan mesin-mesin yang mengganti (atau setidaknya meningkatkan kemampuan) otak manusia.
2.4.2. Teknologi Asistif
Berdasarkan pada perkembangan teknologi informasi yang telah dipaparkan di atas, manusia pun mulai memikirkan akses dan pemanfaatan teknologi informasi bagi penyandang ketunaan, yang kemudian dikenal dengan istilah Teknologi Asistif (assistive technology).
Menurut Technology-Related Assistance for Persons with Disabilities Act (1988) Amerika Serikat. "..assisstive technology devices..are any item, place of equepment or product system, whether acquired commercially of the shelf modified, or customized, that is used to increse, maintain, or improve functional capabilities of individuals with disabilities."
Sementara itu Wobschall dan Lakin at.al (McBroyer, 2002) mendefinisikan "..assistive technology is just a subset of tools used by human being, providing in ways and places that are needed by relatively few people with significant impairment in `normal' physical, sensory, or cognitive abilities." 
Dengan demikian Assistive technology pada hakikatnya adalah segala macam benda atau alat yang dengan cara dimodifikasi atau langsung digunakan untuk meningkatkan atau merawat kemampuan penyandang ketunaan.
Komputer adalah salah satu bagian penting hasil perkembangan teknologi informasi masa kini. Di antara makna pentingnya adalah assistive technologies (teknologi-teknologi asistif) yang membantu siswa-siswa dengan kebutuhan khusus untuk belajar mengerjakan tugas-tugas yang terkait dengan belajar dan kehidupan sehari-hari. Beberapa teknologi asistif memungkinkan siswa dengan disabilitas untuk mengakses komputer; sebagian lainnya memberikan berbagai peluang pendidikan yang sebelumnya tidak ditawarkan.
Di antara teknologi asistif yang terpenting adalah teknologi yang memberikan akses ke komputer dan teknologi komunikasi modern lain kepada siswa-siswa dengan disabilitas. Beberapa contoh aplikatifnya adalah sebagai berikut :
a. Keyboard-nya dapat dimodifikasi, sehingga dapat digunakan misalnya untuk orang yang hanya memiliki satu tangan atau satu jari untuk mengetik. 
b. Program-program pengenalan suara memungkinkan siswa dengan berbagai disabilitas fisik untuk memasukkan teks ke dalam komputer dengan berbicara. 
c. Joysticks telah dikembangkan untuk memungkinkan individu-individu mengontrol komputer dengan menunjuk dengan dagu atau kepalanya.
Dewasa ini ada berbagai macam perangkat asistif yang dapat menyediakan berbagai kesempatan pendidikan dan pekerjaan. Sebagai contoh, tulisan besar dan translasi Braile dengan bantuan komputer dapat membantu komunikasi untuk siswa-siswa yang mengalami hambatan penglihatan. Software translasi Braille dapat  mengonversikan teks menjadi format Braille yang tepat. Software pembesaran-layar memperbesar ukuran teks dan grafik, mirip dengan captioning dan tampilan real-time graphics di televisi, yang menyiarkan dialog dan tindakan di acara atau film televisi melalui teks tercetak. Computer speech synthesizers dapat menghasilkan kata-kata lisan secara artifisial. Speech recognition software (software untuk mengenali suara) dapat membantu siswa-siswa yang hanya dapat mengucapkan beberapa bunyi untuk mengerjakan berbagai tugas. Individu diajari beberapa bunyi "token" yang dapat direspons oleh komputer yang diprogram secara khusus. Komputer mengenali suara dan mengerjakan berbagai fungsi sehari-hari dan fungsi-fungsi berbasis-sekolah, seperti menyalakan TV, memainkan rekaman video, atau mengakses kurikulum sekolah di CD-ROM. Peralatan-peralatan canggih lainnya bereaksi terhadap sinyal-sinyal otak yang kemudian mentranslasikannya menjadi perintah dan tindakan digital.
Teknologi-teknologi lain, misalnya peralatan adaptif dan tombol-tombol khusus, memungkinkan siswa dengan disabilitas fisik untuk meningkatkan mobilitas fungsionalnya dengan menghidupkan berbagai peralatan dan mengontrol alat-alat lain seperti lampu atau radio. Computerized "gait trainers" dapat membantu individu-individu dengan keseimbangan yang buruk atau mereka yang memiliki pengendalian tubuh yang kurang untuk belajar berjalan. Peralatan-peralatan yang dikendalikan radio dapat membuka pintu dan mengoperasikan mesin penjawab di telepon.
Teknologi yang sangat menarik dirancang untuk siswa-siswa yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. PC Pal, komputer khusus dengan layar LCD, dapat disediakan di ruang-ruang perawatan di rumah sakit. Peralatan ini menyediakan Games Komputer, memberikan akses Internet dan memungkinkan siswa yang dirawat di rumah sakit untuk terus mengikuti pekerjaan rumah (PR)-nya dan untuk tetap berhubungan dengan teman-temannya. 
Situs-situs Web khusus telah diciptakan untuk memudahkan siswa-siswa dengan disabilitas. Yang paling menonjol adalah yang dikembangkan dan dipromosikan oleh Center for Applied Special Technology (CAST), sebuah organisasi yang misinya adalah memperluas kesempatan bagi orang-orang dengan disabilitas melalui penggunaan komputer dan berbagai teknologi asistif. CAST menawarkan sebuah situs Web (yang disebut "Bobby") dan alat-alat berbasis-Web yang menganalisis aksesibilitas berbagai halaman Web.
2.4.3. Tunanetra Dan Teknologi 
Sering kali, untuk dapat melakukan kegiatan kehidupannya sehari-hari secara mandiri, tunanetra harus menggunakan teknik alternatif, yaitu teknik yang memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan fungsi indera penglihatan dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari sehingga pola kehidupan kesehariannya pun sangat berubah dan dalam banyak hal menjadi berbeda dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) merumuskan definisi ketunanetraan sebagai berikut: “An individual may properly be said to be blind or a blind person when he has to devise so many alternative techniques that is, if he is to function efficiently - that his pattern of daily living is substantially altered.”
Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut. (Tarsidi, 2007)
Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan. Sejalan dengan hal ini, untuk memungkinkan orang tunanetra mengakses computer, teknik alternative yang telah dikembangkan adalah yang memanfaatkan speech technology dan refreshable Braille display. Refreshable Braille display device mengkonversi teks menjadi karakter Braille yang dapat dibaca dengan perabaan pada bagian display-nya. Hardware device ini dihubungkan ke CPU untuk menerima data teks dan berfungsi sebagai monitor. Mungkin karena pertimbangan harga, sejauh ini Braille display hanya diproduksi untuk menayangkan satu baris karakter Braille, yang bervariasi dari 18 hingga 80 karakter perbaris. Informasi yang dapat kita lihat pada layar monitor akan ditampilkan pada Braile display ini baris demi baris secara suksesif. Kecepatan seorang tunanetra membaca layar monitor menggunakan Braille display ini terkait erat dengan keterampilanya membaca Braille. Hasil penelitian Simon & Huertas (1998) menunjukkan bahwa kecepatan membaca rata-rata tunanetra pembaca Braille yang berpengalaman adalah 90-115 kata per menit dibandingkan dengan 250 300 kata per menit untuk mereka yang membaca secara visual. Akan tetapi, hambatan terbesar bagi kebanyakan orang tunanetra untuk memiliki alat ini adalah harganya yang masih sangat mahal (di atas $2000).
Speech technology memungkinkan pengguna computer tunanetra mengakses tayangan pada layer monitor dengan pendengaran. Speech reading software terintegrasi ke dalam operating system dan dapat mengakses hampir semua program aplikasi. Suaranya diproduksi melalui sound card yang tersedia, dengan kualitas mirip suara manusia yang sesungguhnya. Speech screen reading software ini terdiri dari dua komponen utama yaitu speech synthesizer yang mengkonversi teks ke dalam suara dan screen reader yang memungkinkan pengguna computer menavigasi layar sesuai dengan kebutuhannya (misalnya membaca perkalimat atau perkata, membaca document control, menu dan lain-lain.). Kini terdapat banyak speech screen reading software yang beredar di pasar internasional yang dirancang untuk berbagai macam bahasa. Yang paling banyak dipergunakan di Indonesia adalah JAWS produksi Freedom Scientific. Dua keuntungan utama dari teknologi ini dibandingkan Braille display adalah (1) pengguna komputer akan dapat sepenuhnya memanfaatkan kedua belah tangannya untuk mengoperasikan keyboard (tidak harus menggunakan tanganya untuk membaca), dan (2) harganya jauh lebih murah. Di samping itu, kecepatan screen reader dalam membaca layar pun dapat diatur sesuai dengan kesukaan, begitu pula pitch dan jenis suaranya. Ini berarti bahwa seorang tunanetra dapat membaca layar monitor secepat mungkin sesuai dengan kemampuan pendengaranya menangkap makna suara speech synthesizer itu dan dapat memilih suara pembaca yang lebih disukainya.
Untuk memproduksi hard copy dalam format Braille, telah dikembangkan dan diproduksi printer Braille (juga disebut Braile embosser) yang dioperasikan dengan Braille translation software yang menerjemahkan data dari tulisan biasa ke dalam format Braille. Pembuatan Braille translation software yang dirancang khusus untuk mengakomodasi sistem Braille Indonesia telah berhasil dilakukan oleh Yayasan Mitra Netra bekerjasama dengan Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Software yang diberi nama MBC IV ini dapat dipergunakan untuk mengoperasikan berbagai Braille embosser yang tersedia di pasar internasional.
Dengan bantuan teknologi akses di atas, dengan tambahan scanner, orang tunanetra memiliki akses ke buku atau bahan bacaan lainya yang bertulisan biasa setelah melalui proses scanning. Hal ini memungkinkan orang tunanetra membaca buku-buku biasa secara mandiri. Untuk membantu mempermudah orang tunanetra membaca buku biasa, telah dikembangkan pula reading machine yang dirancang khusus untuk membantu tunanetra membaca print. Alat ini memadukan processor, scanner dan speech synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Di pihak lain, untuk mempermudah orang tunanetra dalam memasukkan dan menyimpan data, telah dikembangkan pula Braille notetaker, yaitu komputer kecil (beratnya sekitar satu kilogram) yang memungkinkan orang tunanetra menulis dengan braille dan mendapatkan output dalam bentuk suara dan/atau braille. Alat ini dilengkapi dengan Braille display dan Braille keyboard serta speech synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Dengan teknologi akses tersebut orang tunanetra dapat melakukan berbagai hal sebagaimana para pengguna komputer pada umumnya seperti word processing, accounting, music composing, Internet browsing, programming, dan lain-lain. Hal ini memungkinkan orang tunanetra melakukan berbagai macam pekerjaan yang secara tradisional harus dilakukan mengunakan penglihatan. Jadi, bagi orang tunanetra, computer bukan sekedar alat Bantu kerja tetapi merupakan alat akses ke “dunia awas”. 
2.4.4. Teknologi Asistif Bagi Tunanetra
Berikut ini adalah beberapa macam teknologi asistif yang umum digunakan tunanetra. Teknologi asistif tersebut dapat diaplikasikan pada perangkat keras dan perangkat lunak yang dibangun khusus untuk kebutuhan tunanetra, atau pada perangkat keras dan perangkat lunak umum yang kemudian menjadi lebih mudah diakses serta dimanfaatkan oleh tunanetra. (www.disaboom.com/blind-and-visual-impairment/assistive-technology-for-the-blind)     
a. Screen reader
Teknologi screen reader atau pembaca layar mulai dikembangkan pada era 70-an. Teknologi ini mensimulasikan suara manusia, lalu mengubah teks, warna, atau cursor yang umumnya muncul di layar monitor menjadi keluaran suara. Pengguna dapat mengendalikan kerja pembaca layar untuk melakukan proses navigasi, pembacaan, atau penulisan. Ada pun beberapa produk pembaca layar yang populer digunakan adalah sbb:
1. JAWS for Windows, pembaca layar untuk PC  (www.freedomscientific.com).
2. Window-Eyes, pembaca layar untuk PC  (www.gwmicro.com)
3. Nuance Talks, pembaca layar untuk ponsel (www.nuance.com/talks )
4. Voice Over, pembaca layar untuk iPod, iPhone, iPad, dan produk Apple lainnya.
b. Braille Display 
Perangkat ini bekerja layaknya monitor yang menampilkan tulisan cetak di layarnya, maka Braille Display dapat menampilkan huruf cetak dalam format Braille, sehingga tunanetra dapat membaca informasi yang diubah oleh komputer ke format Braille dengan cara meraba huruf Braille yang muncul di Braille Display. Larry Skutchan, tunanetra yang merupakan praktisi teknologi asistif  berpendapat bahwa penting bagi tunanetra untu tidak sekedar memperoleh informasi dengan cara mendengar, tapi juga berlatih membaca dan menulis dengan huruf Braille.
c. Peralatan elektronik aksesibel
Ini adalah perangkat elektronik umum yang beredar di pasaran, namun biasa dimanfaatkan tunanetra untuk menunjang kebutuhan sehari-hari. Peralatan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga mampu mengadopsi teknologi text to speech untuk menuarakan informasi yang disajikan, atau menggunakan objek faktual yang dapat diraba. Contoh penggunaannya  seperti mesin cuci untuk mencuci, alat perekam untuk merekam informasi yang dapat didengarkan kembali di masa datang, atau perangkat multimedia untuk menikmati hiburan. Karena tak semua peralatan elektronik di pasaran memiliki spesifikasi yang mudah dioperasikan tunanetra, National Federation of the Blind membuat pedoman khusus mengenai perangkat lektronik seperti apa yang dapat dioperasikan oleh tunanetra. (www.nfb.org/nfb/accessible_home_showcase.asp?SnID=684722052)
d. Pembaca buku portabel
 Ini adalah sebuah alat yang mampu mengunduh bahan bacaan seperti novel, jurnal, atau majalah berformat e-book, lalu mengubahnya menjadi informasi suara sehingga tunanetra dapat memperoleh informasi dari bahan bacaan yang diunduhnya. Salah satu pembaca buku portabel yang cukup populer adalah Victor Reader. (www.humanware.com)
e. GPS bicara
Global Positioning System (GPS) adalah perangkat navigasi berbasis satelit yang dapat mengkalkulasi keberadaan pengguna di mana pun, lalu memberikan informasi arah sesuai dengan tujuan penggunanya. Beberapa GPS bicara yang cukup populer adalah BrailleNote GPS, Street Talk™, Trekker, dan Mobile GEO.
2.4.5. Teknologi Informasi Sebagai Alat Bantu Tunanetra Di Indonesia
Mengingat luasnya pembahasan mengenai modul-modul teknologi informasi, baik yang berupa hardware maupun software, maka penulis akan mempersempit kajian pada alat-alat bantu berupa teknologi asistif yang telah tersedia dan dirasakan manfaatnya oleh tunanetra di Indonesia.
A. Alat Bantu Untuk Tunanetra Secara Umum
Alat-alat bantu di bawah ini dapat digunakan baik oleh tunanetra yang totally blind maupun yang low vision.
1. Voice Recorder
Voice Recorder merupakan sebuah device yang dapat menyimpan rekaman dalam format audio. Ada dua jenis voice recorder, yaitu analog biasanya berbentuk tape recorder dan kaset di mana suara direkam di atas pita, dan digital di mana suara direkam dalam bentuk data dan disimpan di media penyimpanan optik.
2. Komputer Bicara
Komputer bicara adalah seperangkat PC atau laptop yang telah dilengkapi piranti lunak pembaca layar yang dapat mengubah teks menjadi keluaran suara (www.mitranetra.or.id)
3. OCR : Roman Alphabets-Braille Converter System.
Sistem ini merupakan pengembangan software OCR, sehingga hasil scanning terhadap buku, dokumen, suratkabar daqn sebagainya akan diubah format  penyajiannya ke dalam braille-based output. Selain itu terbuka juga kemungkinan untuk memadukannya dengan text to speech synthesizer sehingga didapat output berupa suara. (http://asnugroho.wordpress.com/2007/03/16/teknologi-bagi-tuna-netra/)  
4. Pengembangan perpustakaan CD yang dikhususkan bagi para tuna netra, sesuai dengan standar internasional DAISY (Digital Audio-Based Information System). Jadi, buku-buku cetak dapat diubah menjadi format audio, baik analog (kaset) maupun digital (CD atau MP3). (www.mitranetra.or.id)
5. Pengembangan software voice recognition system khusus untuk bahasa Indonesia, sebagai media input bagi komputer. Dengan demikian, pihak pemakai (dalam hal ini tuna netra) dapat menulis makalah, mengedit dan sebagainya. tanpa (atau meminimalisir) menggunakan keyboard,dan sebagai gantinya memakai software tsb. untuk merubah suara ke dalam text. Ada pun ide pembuatan text to speech dan speech to text ini diprakarsai oleh Arry Akhmad Arman  (http://indotts.melsa.net.id/), sedangkan aplikasi voice to text telah banyak diterapkan pada perangkat komunikasi, salah satunya gadget Android keluaran Google. (www.google.com) 
B. Alat Bantu Untuk Low Vision
Alat bantu low vision yang paling efektif adalah peralatan yang memancarkan cahaya. Cahaya merupakan alat bantu low vision pertama yang harus dipertimbangkan, dibahas dan diasesmen dalam konsultasi low vision. Jika tingkat iluminasi (pencahayaan) lingkungan rendah, dan cahaya lampu yang ada tidak cukup terang, maka sebaiknya dipergunakan lampu belajar yang dapat diputar ke segala arah, sebaiknya dengan watt yang rendah. Watt yang rendah itu sangat penting untuk kenyamanan karena panas yang dipancarkannya minimum dibandingkan dengan yang dipancarkan dari lampu pijar biasa. (http://d- tarsidi.blogspot.com/2008/06/alat-alat-bantu-low-vision-bagi-anak.html)
a. Penggunaan Standar Baca (reading stand)
Banyak alat optik menuntut jarak baca yang dekat dan yang lebih mudah terpenuhi bila menggunakan sebuah standar baca. Terdapat bermacam-macam model standar baca untuk dipergunakan dengan alat bantu low vision . Standar baca itu harus dilengkapi dengan alat untuk mengubah-ubah ketinggiannya dan kebesaran sudutnya, dan dilengkapi dengan alat untuk menyimpan dan menahan bahan bacaan. Ada standar baca yang dilengkapi dengan klip pada bagian atasnya untuk menahan kertas-kertas lepas. 
b. Kaca Mata
Penggunaan kaca mata yang cocok, yang diresepkan secara tepat juga sangat  membantu low vision. Antara 10 hingga 15% anak penyandang ketunanetraan berjenis low vision dapat dibantu dengan kaca mata, dan sering kali hanya inilah yang dibutuhkannya. 
c.Penggunaan Magnifikasi (pembesaran) 
Elemen ketiga yang dibutuhkan adalah satu jenis magnifikasi eksternal. Magnifikasi ini dapat diperoleh dengan: memperbesar ukuran obyek (magnifikasi ukuran); memperkecil jarak lihat ke obyek (magnifikasi jarak relatif); memperbesar sudut penglihatan (magnifikasi sudut relatif), biasanya dilakukan dengan sistem multi-lensa seperti teleskop. Sering kali ketiga teknik dasar tersebut dipergunakan sekaligus. Jika hal ini dilakukan, maka hasil magnifikasinya akan merupakan produk magnifikasi yang dihasilkan oleh berbagai metode. Dalam contoh berikut ini, seorang anak tunanetra ingin menonton televisi dan memerlukan magnifikasi 2x untuk melakukannya. Untuk itu terdapat tiga kemungkinan opsi:  mengganti pesawat televisi berdiameter 10 inci dengan 20 inci; memperdekat jarak duduk anak dari yang biasanya 6 meter menjadi 3 meter; memberi anak teleskop dengan magnifikasi 2x. Jika ketiga cara di atas dipergunakan sekaligus, maka total magnifikasi yang diperoleh bukan 6x melainkan 8x (yaitu 2 x 2 x 2).

2.5 Hubungan antara Motivasi dengan Penggunaan Teknologi Informasi bagi Tunanetra
Motivasi tercipta karena adanya keinginan yang besar dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu termasuk hal yang dilakukan oleh seorang tunanetra dalam menjalani aktifitas kesehariannya. Seorang tunanetra akan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang positif dalam kehidupannya apabila di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, salahsatunya adalah perangkat dan aplikasi teknologi informasi. Melalui teknologi informasi seorang tunanetra dapat termotivasi untuk melakukan kegiatannya, karena dengan adanya teknologi informasi tersebut seorang tunanetra cukup terbantu sehingga kesulitan yang dihadapi dapat teratasi dengan baik, sebagai pengganti salahsatu fungsi organ tubuh (indera penglihatan) yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga dapat menjalani kehidupan layaknya orang normal lainnya. 
Motivasi pun dapat tercipta melalui kegiatan social learning yang diperoleh seorang tunanetra dalam proses pembelajaran, sehingga seorang tunanetra mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan kemampuan yang mereka miliki dapat mengevaluasi perilakunya sendiri (berdasarkan standar pribadinya) dan dapat menciptakan penguatan sendiri. Perkembangan kepribadian tunanetra dapat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya melalui model yang diperoleh dari lingkungan tempat mereka berada dan keyakinan yang dianutnya. Semakin besar input psitif yang diterima, maka semakin besar pula nilai-nilai positif yang tumbuh dalam diri tunanetra tersebut. Namun, semakin besar nilai-nilai negatif yang diterima, maka pribadinya pun akan tumbuh menjadi pribadi yang negatif.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa antara motivasi dan penggunaan teknologi informasi memiliki pengaruh yang cukup positif terhadap kehidupan tunanetra terutama dalam peningkatan kualitas kehidupannya menjadi lebih baik.  



BAB III
OBJEK PENELITIAN

Mengingat banyaknya individu tunanetra yang tersebar luas di seluruh Indonesia dan keterbatasan kemampuan penulis untuk melakukan penelitian secara mendalam dan menyeluruh, serta didukung fakta bahwa penulis sendiri merupakan tunanetra yang telah melakukan implementasi terhadap kajian karya ilmiah ini, maka penulis akan lebih memfokuskan aplikasi landasan teori pada objek utama yaitu diri penulis sendiri. Penulis tetap menyertakan data-data tambahan yang penulis dapatkan melalui dialog dan penggalian informasi dengan beberapa orang tunanetra di Indonesia yang penulis asumsikan telah mewakili validitas serta realibilitas data-data yang penulis tuangkan dalam karya ilmiyah ini.

3.1. Perkembangan Jiwa Anak
3.1.1. Motivasi Pertama Dari Orangtua
Penulis lahir pada tanggal 3 Pebruari 1981 di kota Semarang, Jawa Tengah. Ayah penulis bernama Rahadi Sudarsono, dan Ibu penulis bernama Emmy Darwati. Saat lahir, tim medis memfonis penulis menyandang tunanetra. Hal itu ditandai dengan ekspresi wajah penulis yang datar dan tidak merespon stimuli lingkungan sekitar, dan penulis tidak menangis seperti halnya bayi-bayi pada umumnya. 
Menurut keterangan ayah, beliaulah yang pertama kali mengetahui bahwa penulis menyandang tunanetra. Pada saat itu, ayah penulis menyampaikan berita tersebut kepada Ibu penulis, dan seperti halnya manusia pada umumnya yang menerima kelahiran putra pertama mereka yang “tidak normal”, maka timbul pula unsur-unsur penolakan dan kesedihan akan kenyataan tersebut. Namun, unsur-unsur penolakan dan kesedihan tersebut tidak berlanjut menjadi penyesalan, melainkan langsung pada penerimaan. Inilah pelajaran pertama tentang motivasi yang penulis peroleh dari orangtua, bahwa mereka menganggap penulis adalah karunia Allah yang paling sempurna, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Orangtua penulis menyampaikan bahwa menurut mereka, kebutaan yang penulis sandang bukanlah aib atau cacat yang dapat mengurangi derajat manusia, tapi sebagai bentuk keadilan Allah bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya, dalam hal ini penulis memiliki kekurangan karena tidak dapat melihat. Oleh karena itu, orangtua memutuskan untuk fokus pada kelebihan yang penulis miliki, sehingga kekurangan yang sebelumnya merupakan hambatan dapat diubah menjadi tantangan. Hal ini akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. 
Adanya motivasi ini tentu membuka jalan bagi tunanetra yang baru lahir untuk dapat hidup lebih baik, dan inilah yang rata-rata dialami keluarga dengan putra putri tunanetra di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Ibu Primaningrum Rustam yang dikaruniai dua putri kembar tunanetra sekaligus. Berkat motivasi positif dalam diri beliau, maka ia pun dapat menerima keberadaan putri-putrinya dengan lapang dada.
3.1.2. Keluarga Sebagai Media Social Learning
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, orangtua penulis dapat menerima ketunanetraan yang penulis sandang. Ini dapat dibuktikan lewat pemberian kasih sayang, pendidikan, serta perlakuan yang secara derajat tidak berbeda dengan apa yang dilakukan orangtua lain pada anak-anaknya yang awas. Yang membedakan hanya perlakuan-perlakuan yang sifatnya teknis, yang berkaitan langsung dengan ketunanetraan yang penulis sandang, misalnya menuntun saat berjalan, membacakan buku, dan lain-lain. 
Saat penulis sudah mulai lancar berjalan, orangtua mulai mensosialisasikan penulis dengan lingkungan sekitar. Mereka mengijinkan penulis berjalan atau berlari keliling rumah dengan pengawasan mereka berdua atau pengasuh, membawa penulis ke luar rumah dan ke tempat-tempat umum, serta mengenalkan penulis dengan masyarakat sekitar. Mereka bahkan memberi kesempatan pada penulis untuk bermain dengan anak-anak seusia penulis, dengan cara bermain dan permainan yang tidak dibedakan. Mereka hanya mengajarkan elemen-elemen mana saja yang berbahaya, dan umumnya hal tersebut sama dengan elemen-elemen yang patut diwaspadai orang awas. Contohnya, pulang ke rumah kalau sudah sore, main harus ingat waktu, atau berhati-hati saat lari atau lompat.
Hal tersebut tentu saja, membangkitkan motivasi penulis untuk mulai bersosialisasi dengan dunia luar. Bersama adik laki-laki yang awas, penulis bermain dan bergaul dengan masyarakat tanpa merasakan adanya perbedaan yang disebabkan oleh ketunanetraan penulis. Sesekali memang ada yang menyebut penulis “buta” atau “tunanetra” namun hal tersebut tidak menimbulkan pengaruh negatif pada penulis, karena orangtua tidak pernah memberikan informasi bahwa kebutaan yang penulis sandang merupakan hal negatif. Salah satu pesan orangtua yang paling berharga adalah, “Kamu memang buta mata, namun kamu tidak buta hati.”
Hal di atas juga diterapkan oleh Ibu Primaningrum Rustam, sehingga kedua putrinya kini tumbuh dengan wajar dan mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan ketunanetraan, contohnya tidak dapat berjalan dengan baik, tidak dapat mencerna informasi visual dengan sempurna, juga ikut terminimalisir dengan cara semacam ini.

3.2. Perkembangan Pendidikan
3.2.1. Masa Pra Sekolah
Dalam perkembangannya, meski belum secanggih sekarang, kedua orangtua penulis telah memanfaatkan teknologi informasi dengan keluaran suara untuk merangsang pertumbuhan penulis. Adapun media yang digunakan saat itu adalah radio kaset yang selalu diletakkan di samping penulis.
Dengan menggunakan radio kaset tersebut, orangtua berusaha merangsang indera pendengaran penulis, yang berlanjut pada aktivitas gerak penulis. Karena fungsi mata sebagai media penangkap informasi yang tidak berfungsi pada tubuh penulis, maka indera pendengaran dapat dengan optimal menangkap bunyi-bunyian yang dikeluarkan oleh radio kaset tersebut, sehingga penulis dapat merespon alunan musik, dan setelah tumbuh menjadi BALITA, mulai menikmati sandiwara radio dan kaset-kaset cerita.
Selain itu, orangtua penulis berusaha untuk mengajarkan penulis berbagai hal yang umumnya dapat dipelajari oleh anak awas. Untuk memahami benda-benda elektronik seperti mobil, motor, pesawat, atau kereta api, orangtua penulis memilihkan mainan yang sudah mengusung teknologi elektronik yang memanfaatkan baterai, sehingga mainan tersebut dapat bergerak dan mengeluarkan suara, dan dapat menjadi semacam miniatur dari perangkat yang sebenarnya. Dengan cara itulah penulis mengetahui seperti apa bentuk mobil polisi berikut suaranya, bagaimana motor dan kereta api beroperasi, dan seperti apa gerak-gerik manusia yang disimulasikan oleh robot mainan.
Orangtua juga mengijinkan untuk membongkar dan memisah-misahkan komponen-komponen mainan elektronik yang penulis miliki, sehingga mereka dapat menunjukkan pada penulis tentang komponen-komponen apa saja yang terdapat dalam mainan elektronik tersebut. Dukungan dari luar inilah yang mulai membangkitkan motivasi penulis untuk menyukai teknologi, karena penulis dapat dengan bebas mengeksplorasi rasa ingin tahu yang telah terstimulasi, namun terhambat aksesnya oleh disfungsi indera penglihatan.
Untuk memahami hal-hal yang ditangkap oleh indera tubuh lainnya, orangtua langsung mempraktekkannya pada objek bersangkutan. Misalnya, untuk memahami seperti apa rasa dingin, orangtua menempelkan kulit penulis ke es batu atau membiarkan penulis berdiri dekat hembusan kipas angin. Saat berendam dengan air hangat, orangtua mengenalkan rasa hangat di kulit penulis, dan sempat merasa kesal karena penulis tak pernah berhenti ingin tahu seperti apa rasa panas sehingga mereka mendekatkan jari telunjuk tangan penulis ke lilin yang sedang meleleh. Proses pengenalan rasa itu berlanjut dengan sendirinya, dan biasanya orangtua menjawab pertanyaan yang penulis ajukan, misalnya permen rasanya apa, garam rasanya apa, bahkan bagaimana rasa tersengat aliran listrik yang secara tidak sengaja sering penulis alami.
3.2.2. Taman Kanak-kanak
Untuk pertama kalinya, penulis mulai masuk ke lingkungan dengan jumlah individu yang lebih besar, yaitu Taman Kanak Kanak (TK). Penulis pernah bersekolah di TK umum di kota Semarang, lalu melanjutkannya di Jakarta. Di sinilah penulis mulai menyadari bahwa ada perbedaan antara penulis dan rekan-rekan penulis. Sebelumnya mungkin penulis hanya tahu kata-kata “buta” atau “tunanetra,” namun saat mulai sekolah penulis pun memahami maknanya. Perbedaan kondisi fisik tersebut mulai dapat penulis rasakan pengaruhnya, terutama saat menjalani proses belajar.
Namun, karena model utama penulis, dalam hal ini orangtua, tidak pernah memberikan informasi bahwa seorang tunanetra berbeda derajat dengan yang lain, maka saat mengetahui arti tunanetra itu penulis tidak terlalu merasakan perbedaan yang berarti. Untuk dapat mengikuti proses belajar, khususnya pengenalan huruf latin dan angka-angka, orangtua memberikan mainan plastik berbentuk Abjad, yang terdiri dari huruf kapital, huruf kecil, angka, dan symbol. Dengan demikian, penulis dapat membayangkan seperti apa bentuk karakter-karakter tersebut saat dicetak di buku atau dituliskan di atas kertas. Caranya adalah dengan meraba mainan-mainan plastik tersebut.
Saat di sekolah, guru TK  mencoba cara mengajar yang berbeda dengan murid-murid lain. Dengan mainan plastik tersebut, mereka mengajarkan penulis bagaimana caranya membaca dan menyusun kata. Misalnya, kalau penulis hendak membuat kata SEKOLAH, maka penulis diharuskan menaruh huruf S E K O L A H secara berurutan. Kelemahannya adalah guru penulis tidak menemukan cara untuk mengajar menulis, sehingga untuk itu mereka hanya meminta penulis menirukan huruf-huruf plastic yang penulis raba, lalu menggerakkan tangan penulis sesuai dengan bentuk huruf-huruf plastik yang penulis raba.
Untuk memberikan informasi mengenai warna, orangtua mencoba memberikan pengenalan warna dengan pasangannya yang telah umum, misalnya rumput dan daun subur warnanya pasti hijau, awan biasa pasti berwarna putih, awan mendung pasti berwarna abu-abu, darah pasti berwarna merah, dan lain-lain. Dengan kata lain, informasi yang diberikan hanya sekadar nama saja, namun betul-betul ditekankan aplikasinya, sehingga dapat meminimalisir kesalahan saat mengidentifikasi warna suatu benda, misalnya rumput warnanya ungu atau matahari warnanya hijau.
Pelajaran tersebut coba diterapkan guru penulis saat mengajar di sekolah. Saat pelajaran melukis misalnya, mereka coba memberi bidang-bidang yang sudah tercetak sedemikian rupa (misalnya cetakan gunung, cetakan segitiga, cetakan segi empat, dan lain-lain) dan penulis diminta mewarnai sesuai petunjuk, jadi pensil gambar dan krayon gambar milik penulis sudah dipisahkan sesuai warna-warnanya. Inilah yang selanjutnya penulis gunakan sebagai dasar pemahaman tentang elemen visual seperti angka, huruf, warna, bentuk, dan simbol.
3.2.3. Sekolah Luar Biasa
Pada tahun 1987, salah seorang kenalan orangtua memberi informasi tentang Sekolah Luar Biasa Bagian A (SLB/A), sekolah  untuk tunanetra yang terletak di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Maka, orangtua pun memasukkan penulis ke sekolah tersebut. Sebelum masuk tingkat sekolah dasar, penulis masuk kelas observasi selama satu tahun,. Kelas ini sejajar dengan TK, bedanya di sini penulis belajar mengenai cara baca tulis tunanetra menggunakan huruf Braille, yaitu huruf timbul yang dapat dibaca dengan cara merabanya dan dapat ditulis menggunakan alat khusus.
Saat itu, seorang guru SLB/A bernama Ibu Lilis Tejakomala ditunjuk sebagai pembimbing kusus yang bertugas memberikan pendidikan intensif pada penulis. Beliaulah yang mengajarkan cara membaca dan menulis huruf Braille, cara mengaji menggunakan Al-Qur’an Braille, dan cara orientasi mobilitas (teknik penguasaan lingkungan untuk tunanetra). Selama satu tahun, penulis tinggal di rumah Ibu Lilis. Di sanalah penulis belajar mengurus diri secara mandiri, seperti makan, mandi, membersihkan pakaian, dan beribadah.
Selanjutnya, penulis tinggal di Asrama Putra SLB/A selama kurang lebih 13 tahun. Di sinilah penulis mempraktekkan apa yang sudah penulis pelajari dari Ibu Lilis, dan sekaligus belajar banyak hal baru, khususnya bersosialisasi dengan individu tunanetra lain.
Setiap hari Sabtu, ayah penulis menjemput dan penulis berlibur di rumah. Biasanya sebelum pulang ke rumah, ayah membawa penulis ke kantor beliau. Di sinilah penulis mulai mengenal komputer, yang saat itu digunakan karyawan kantor sebagai media bekerja dan bermain. Di sinilah untuk pertama kalinya penulis mulai tertarik pada komputer. Dengan ditemani ayah dan rekan-rekannya, penulis belajar mengenali tombol-tombol pada keyboard, dan memahami prinsip dasar kerja komputer. Hanya dengan menekan tombol, penulis dapat menulis atau memberi perintah, dan semua terasa begitu mudah.
Ketertarikan penulis pada komputer semakin bertambah ketika rekan-rekan ayah asyik memainkan games seperti Digger, Tetris, Round42, dan Paratrooper, yang kala itu sangat populer. Tentu saja ketertarikan penulis adalah pada suara yang terdengar saat games dimainkan, dan informasi tentang apa yang sedang terjadi di layar yang diceritakan oleh ayah penulis. Jadi, penulis dapat mengikuti games yang sedang dimainkan, bahkan mencoba memainkan games tersebut dengan panduan orang-orang di sekitar penulis. Karena ketertarikan penulis itulah, maka orangtua membelikan penulis mesin game. Pembahasan mengenai pengaruhnya akan dikupas pada bab-bab selanjutnya.

3.2.4. Sekolah Umum
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SLB/A Lebak Bulus, penulis pun mewujudkan cita-cita bersekolah di sekolah umum. Dulu istilah untuk pendidikan semacam ini adalah sekolah terpadu, di mana siswa-siswi berkebutuhan khusus bersekolah dengan siswa-siswi regular di satu sekolah umum. Awalnya, penulis sempat ditolak dengan alasan tak tersedianya sarana dan prasarana bagi siswa tunanetra. Namun, berkat perjuangan orangtua dan guru-guru SLB/A Lebak Bulus, akhirnya penulis dapat diterima di SMPN 226, sebuah sekolah menengah umum negeri yang letaknya tidak terlalu jauh dengan asrama penulis, sehingga penulis dapat tetap berasrama di tempat sebelumnya.
Tantangan pun mulai penulis temui, karena media belajar mengajar bukan huruf Braille, dan tidak lagi memungkinkan untuk menggunakan mainan plastik yang dulu penulis pergunakan saat TK. Sebagai alternative, penulis memanfaatkan perangkat teknologi berupa tape recorder, sebuah perekam analog yang dapat merekam suara ke dalam kaset. Penulis memakainya untuk merekam materi pelajaran yang disampaikan di kelas. Rekaman tersebut kemudian dapat penulis dengarkan kembali untuk kebutuhan menyalin ulang ke format Braille, atau untuk mempelajari kembali materi yang disampaikan. Untuk merekam pelajaran yang dituliskan lewat papan tulis, biasanya penulis langsung meminta guru bersangkutan untuk membacakan dengan keras, atau meminta bantuan teman sebangku untuk membacakan ulang.
Guna memudahkan penulis mengakses materi pelajaran yang tertulis di buku cetak, ayah merekam isi buku pelajaran tersebut ke kaset kosong. Untuk buku pelajaran dengan jumlah halaman 100 dapat menghabiskan kira-kira 10 kaset berdurasi 60 menit. Ini adalah bentuk usaha alternative orangtua dengan memanfaatkan teknologi yang seadanya. Hal ini sering membuat ayah kecapaian karena membaca hingga larut malam, tak jarang alergi beliau kumat dan bersin-bersin di rekaman pelajaran yang sedang dibacakannya.
Untuk mengatasi masalah saat pelajaran matematika dan fisika, penulis mendapat bantuan dari Yayasan Mitra Netra (YMN), organisasi yang bergerak di bidang pemanfaatan potensi penyandang tunanetra. YMN meminjamkan modul belajar timbul yang dapat diraba, sehingga saat pelajaran matematika dan fisika, penulis menggunakan modul tersebut untuk memahami gambar yang sedang diterangkan. Misalnya, di kelas sedang diterangkan mengenai Bejana, maka penulis mengambil modul Bejana yang tercetak di lembaran kertas, di mana Bejana tersebut direpresentasikan oleh titik-titik timbul dua dimensi yang diukir menyerupai Bejana sebenarnya.
Metode belajar di atas juga diterapkan oleh murid-murid tunanetra yang saat ini mengikuti pendidikan inklusif. Salah satunya adalah Ayu, siswi tunanetra dari Bali yang sebelumnya sekolah di SLB/A Driya Raba Bali, lalu melanjutkan pendidikan di sekolah umum. Selain menggunakan format Braille sebagai media baca tulis primer, Ayu juga memanfaatkan tape recorder untuk memudahkan dalam proses belajar mengajar.
3.2.5. Masa Perkuliahan
Di masa perkuliahan, teknologi informasi sudah lebih canggih, sehingga dalam proses akademis penulis sudah dapat menjalaninya dengan lebih mudah dan mandiri. Untuk merekam materi yang disajikan di kelas, penulis sudah menggunakan voice recorder, yaitu alat perekam yang mampu merekam suara dan menyimpannya dalam format digital audio (MP3, WAV, atau WMA). Dengan demikian, kegiatan ini menjadi lebih praktis karena penulis tidak lagi membutuhkan kaset dalam jumlah banyak, dan hasil rekaman dapat diedit serta dipindah-pindahkan dengan lebih mudah.
Untuk mengerjakan tugas perkuliahan, penulis memanfaatkan komputer yang telah dilengkapi dengan pembaca layar, sehingga penulis dapat membaca dan menulis tugas-tugas sesuai kebutuhan. Adapun media cetak sudah dapat discan menggunakan teknologi OCR (Optical Character Recognition), dan hasilnya berupa file PDF atauTXT yang selanjutnya dapat penulis akses menggunakan komputer. Sedangkan untuk output penulis dapat mencetaknya dengan printer, atau mengirimkan langsung ke guru atau dosen via email.

3.3. Perkembangan Remaja
3.3.1. Video Games Sebagai Media Sosialisasi
Salah satu nilai tambah bagi tunanetra seperti penulis adalah fokus dan daya ingat, dan dengan memanfaatkan dua elemen tersebut penulis dapat bermain video games dengan baik. Fokus, artinya penulis dapat berkonsentrasi saat memainkan sebuah game dan tidak cepat panik serta mampu mengambil keputusan dengan baik, sedangkan daya ingat yang tinggi memungkinkan penulis menghafal posisi serta pola permainan yang disajikan di game.
Adapun untuk memainkan sebuah game penulis tidak melihat objek yang muncul di layar TV, melainkan mendengarkan suara-suara yang terdengar dari speaker TV. Untuk mempermudah permainan, penulis menghapal informasi tentang permainan yang penulis mainkan yang didapat dari rekan-rekan penulis. Informasi tersebut mencakup karakter protagonis, latar belakang, warna, bentuk, suara, serta pola permainan.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penulis telah mengenal teknologi video games sejak usia dini, dan ketertarikan itu berawal dari pendengaran, di mana saat itu penulis tertarik akan bunyi-bunyian yang dikeluarkan video games, sehingga membuat penulis termotivasi untuk tahu lebih banyak bahkan memiliki video games sendiri.
Tahun 1987, orangtua penulis membelikan mesin game yang pertama, yaitu Atari 2600. Mesin game kedua penulis dapatkan tahun 1990, yaitu NES (Nintendo Entertainment System), lalu yang ketiga adalah Sega Mega Drive yang penulis peroleh tahun1994, dan SNES (Super Nintendo Entertainment System) tahun 1996.
Saat pertama kali memiliki mesin game, yaitu Atari 2600, hampir seluruh anak tetangga bermain di rumah penulis. Disinilah penulis dapat mengenal pribadi mereka lebih dekat dan lebih mudah, karena penulis tidak perlu ke luar rumah dan mengunjungi mereka satu-persatu. Setelah penulis memiliki Nintendo Entertainment System, video games tak sekadar menjadi media sosialisasi dan perkawanan semata, tapi juga menjadi media pembelajaran bagi penulis. Melalui informasi yang penulis dengar dari adik dan teman-teman, penulis dapat mengetahui tampilan visual dari sebuah game, misalnya ukuran tubuh karakter Mario dalam game Super Mario Bros yang kecil, lalu menjadi lebih besar saat mendapatkan jamur yang keluar dari batu bata yang disundulnya.
Pada tahun 2005, penulis menemukan situs www.audiogames.net yang berisi game-game khusus tunanetra. Audio game memanfatkan teknologi audio, sehingga tunanetra dapat memainkan game hanya dengan mendengarkan informasi yang disajikan oleh game bersangkutan. 
Lewat game online yang didesain khusus untuk tunanetra, penulis mulai membangun hubungan pertemanan dengan rekan-rekan tunanetra di luar negeri. Kami berkomunikasi dan berkompetisi layaknya gamer-gamer awas. Yang membedakan hanya antarmuka game yang kami mainkan, umumnya hanya berupa teks tanpa gambar, sehingga dapat dibaca oleh aplikasi pembaca layar.
Video Games juga membantu penulis dalam pengembangan imajinasi dan daya khayal. Saat memainkan game tertentu dan ada area yang tidak dapat dijangkau misalnya, maka penulis akan berkhayal dapat menjangkau tempat tersebut. Kadang-kadang penulis juga membayangkan hal yang tidak masuk akal, misalnya penulis seolah-olah ikut masuk kedalam permainan tersebut dan membantu tokoh utamanya menyelesaikan game. Hal ini dapat menyita waktu penulis seharian penuh, hanya sekadar duduk dan mengimajinasikan hal-hal yang berhubungan dengan video games.
Dengan bantuan orang awas, penulis juga mencoba menirukan apa-apa saja yang ada dalam video games yang penulis mainkan, misalnya berpose kuda-kuda bertarung dari tokoh utama sebuah game, mengucapkan kalimat-kalimat yang muncul di game, atau menyanyikan musik game yang penulis dengar. 
Motivasi untuk berkompetisi menjadi yang terbaik pun mulai tumbuh dalam diri penulis, karena pada kenyataannya, penulis dapat memainkan game-game seperti halnya rekan-rekan penulis yang awas. Penulis dapat merasakan reward berupa rasa bangga dan rasa puas ketika berhasil menyelesaikan sebuah game, atau berhasil mengalahkan pencapaian yang diraih teman penulis.
Pada masa remaja, pengetahuan dan keahlian bermain video games membantu penulis untuk dapat bersosialisasi dengan teman-teman seusia penulis yang saat itu juga menyukai hal yang sama. Melalui diskusi, kompetisi, dan obrolan seputar video games, penulis berhasil membangun jaringan pertemanan yang tidak hanya menambah jumlah teman, tapi juga menyatukan individu-individu yang memiliki kegemaran sama dengan penulis.
3.3.2. Lima Bidadari Sebagai Hasil Imajinasi  
Saat penulis mulai memasuki usia remaja, penulis berhasil mengembangkan daya imajinasi dengan bantuan elemen-elemen yang telah dibahas sebelumnya. Di masa inilah penulis juga mulai mengenal lawan jenis, mempelajari karakter, dan memahami proses interaksi antar individu. Salah satu hasil imajinasi yang penulis ciptakan adalah karakter “Lima Bidadari,” yang merupakan representasi dari berbagai kepribadian dan kecerdasan yang penulis tuangkan dalam bentuk visual. Ini penulis lakukan untuk mempermudah penulis mengidentifikasi sifat dan kepribadian lawan jenis yang penulis temui, sekaligus media identifikasi sifat dan kepribadian penulis sendiri. 
Ada pun pembuatan karakter Lima Bidadari ini dibantu oleh Slamet Riyanto, rekan penulis yang coba menterjemahkan imajinasi penulis dalam bentuk gambar. Secara garis besar, visualisasi lima bidadari sangat sederhana. Mereka memiliki postur tubuh konvensional seperti manusia, bukan seperti peri berukuran kecil di film kartun atau bidadari berselendang seperti di cerita-cerita legenda. Untuk mempermudah proses imajinasi, penulis coba membayangkan mereka dengan wajah yang sama. Yang membedakan hanyalah busana, senjata,
ekspresi wajah, dan sifat-sifatnya.
Lima bidadari sendiri merupakan perwakilan dari spiritual quotient (kecerdasan spiritual), emotional quotient (kecerdasan emosional), intellectual quotient (kecerdasan intelektual), body (tubuh), dan soul (jiwa). Untuk mengenal lebih jauh tentang mereka, pembaca dapat mengakses situs penulis di www.ramaditya.com. Ada pun halaman depan situs tersebut memuat gambar lima bidadari.
3.3.3. Pengaruh Negatif
Berikut ini adalah beberapa hal negatif yang muncul pada diri penulis, dan untuk pertama kalinya penulis berhasil mengidentifikasikan dan merasakan dampaknya pada usia remaja.
a. Sombong dan angkuh, ini disebabkan tumbuhnya rasa percaya diri yang terlalu berlebihan, sehingga menyebabkan penulis meremehkan hal-hal yang sebenarnya penting, mengendurkan semangat belajar karena beranggapan sudah lebih unggul dari yang lain, bahkan merasa paling hebat dibandingkan tunanetra-tunanetra lain yang saat itu tidak memperoleh pencapaian seperti penulis.
b. Egois, karena merasa paling memahami kehidupan yang penulis jalani, penulis cenderung tak mau mendengarkan saran dan permintaan dari orang lain dan memprioritaskan apa yang menurut penulis paling baik.
c. Sedih dan putus asa, ini muncul bukan karena ketunanetraan yang penulis sandang, tapi dampak dari poin sebelumnya. Ketika penulis mengalami kegagalan, contohnya saat kelas 3 SMP pernah jatuh ke ranking 25 dari 40 siswa, atau saat ditolak menjadi kekasih wanita yang penulis sukai, maka penulis pun merasa putus asa dan sedih berlebihan. Hal itu tentu saja membuat penulis tidak produktif dan membuang-buang waktu.
3.4. Penguasaan Teknologi
Hampir 80% aktivitas sehari-hari penulis berhubungan dengan teknologi informasi. Berikut ini tahap-tahap pembelajaran TI serta manfaat yang penulis peroleh dengan menguasainya.
3.4.1. Video Games
Penulis menguasai video games lewat informasi yang penulis peroleh dari rekan bermain dan orangtua, serta praktek lapangan yang penulis jalani sendiri. Video games telah membantu penulis dalam proses sosialisasi dan interaksi dengan lingkungan sekitar, khususnya mereka yang memiliki kegemaran sama dengan penulis. 
Selain itu, video games juga telah membantu mengaktifkan otak kanan penulis, yang sebenarnya sulit diakses karena tidak adanya informasi visual yang masuk dari mata, namun lewat video games hal tersebut dapat diatasi, dan sebagai hasilnya mampu membangkitkan daya khayal serta imajinasi penulis.
Pada perkembangannya, penulis tidak hanya memanfaatkan teknologi video games sebagai media bersenang-senang, tapi juga menjadikannya lapangan kerja. Penulis pernah menjadi composer lepas untuk beberapa pengembang game local di Indonesia, salah satunya www.divinekids.com. Penulis juga pernah menjadi kontributor Majalah Hot Game dan mengulas rubrik musik game. Saat ini, penulis tercatat sebagai salah satu kontributor tetap rubrik video games di situs berita teknologi online www.detikinet.com.


3.4.2. Komputer
Setelah mengenal komputer melalui perangkat yang tersedia di kantor ayah, penulis mulai serius mempelajari dan menekuni segala hal yang berhubungan dengan komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
Di tahun 1990, penulis belajar mengetik 10 jari dengan dibantu seorang mahasiswi dari Universitas Indonesia (UI) bernama Silvia, yang saat itu tengah melakukan penelitian di Asrama SLB/A Lebak Bulus. Selanjutnya, seorang instruktur mesin ketik bernama Ibu Hilma membantu proses belajar dengan metode pembelajaran yang resmi. Dalam jangka waktu satu bulan, penulis telah lancar mengetik 10 jari menggunakan mesin ketik.
Tahun 1996, penulis mengikuti kursus komputer bicara yang diselenggarakan Yayasan Mitra Netra. Saat itulah untuk pertama kalinya penulis mengenal program pembaca layar, dan memanfaatkannya untuk belajar aplikasi-aplikasi DOS (Disk Operating System) seperti WordStar, WordPerfect, dan Lotus 123. Ada pun instruktur penulis saat itu adalah Bapak Suratim yang juga seorang tunanetra.
Tahun 1999, penulis membeli seperangkat Personal komputer (PC) pribadi, namun karena harga aplikasi pembaca layar masih cukup mahal, maka penulis mengoperasikan komputer dengan cara menghafal perintah-perintah yang dapat dijalankan dengan keyboard. Saat itu komputer penulis belum menggunakan system operasi Windows dan masih memakai DOS, sehingga masih dapat dihafal dan mudah dalam penggunaannya.
Penulis mulai menggunakan pembaca layar JAWS for Windows setelah membeli perangkat PC yang kedua di tahun 2002. PC ini sudah menggunakan system operasi Windows XP, dan pembaca layar JAWS for Windows yang penulis gunakan sudah dapat dipasang. JAWS for Windows sendiri merupakan pembaca layar yang paling umum digunakan di Indonesia.
Setelah menggunakan PC dengan spesifikasi terkini, penulis mulai memanfaatkannya untuk aktivitas yang lebih menantang, seperti belajar bahasa pemrograman dan aplikasi pembuat musik digital. Untuk bahasa pemrograman, penulis belajar Visual Basic, HTML, dan PHP, sedangkan untuk aransemen musik penulis menggunakan Cakewalk Sonar, Steinberg Cubase, dan Adobe Audition.
Dalam merakit komputer, penulis banyak belajar secara mandiri, baik dari majalah komputer maupun internet. Pengetahuan yang penulis dapat kemudian langsung dipraktekkan dalam aktivitas sehari-hari, mulai dari merakit komputer, memasang program, bahkan membuka layanan jual beli komputer bagi yang membutuhkan.
Pada proses belajar tersebut, tak jarang penulis menemui hambatan, seperti perangkat keras atau perangkat lunak yang tidak dikenali pembaca layar sehingga penulis tak dapat membacanya secara mandiri, arus listrik yang sering menyengat tubuh penulis, atau aplikasi yang membutuhkan pemahaman yang baik untuk dapat mengoperasikannya. Saat ini penulis sudah menggunakan komputer di hampir setiap kegiatan penulis, mulai dari mengerjakan tugas, membuat artikel, membuka internet, mengaransemen musik, presentasi saat pelatihan, bahkan menyusun karya ilmiyah ini.
 3.4.3. Internet
Penulis mulai memanfaatkan jasa Internet pada sekitar tahun 1997, saat itu melalui jaringan dial-up milik salah seorang rekan sekolah. Mengingat kecepatan aksesnya yang masih sangat lambat, saat itu penulis hanya memanfaatkannya untuk belajar memahami cara kerja internet, mengunduh informasi mengenai internet, dan bertukar file musik sederhana dengan pembuat musik di luar negeri.
Setelah belajar sedikit mengenai pembuatan halaman web, penulis pun membuat blog pribadi pada tahun 2003. Blog ini beralamat di www.ramaditya.com, dan merupakan blog pribadi tunanetra pertama di Indonesia. Adapun konten blog yang disusun bersama rekan penulis Slamet Riyanto ini menyajikan informasi aktivitas sehari-hari penulis, yang disajikan layaknya buku harian. Isinya adalah mengenai pengalaman penulis sebagai tunanetra dalam menekuni berbagai aspek kehidupan, mulai dari pemenuhan kebutuhan, menikmati kegemaran, proses belajar, hingga cinta.
Meski blog tersebut milik tunanetra, namun penulis tetap memasukan elemen visual di dalamnya, seperti foto dan video, sehingga pengunjung tidak hanya memahami kehidupan penulis lewat teks saja, tapi juga lewat gambar. Tak jarang foto atau video yang dipasang posisinya terbalik atau terlalu besar ukurannya sehingga membuat halaman web tidak teratur, namun perbaikan terus dilakukan.
Kegemaran mengelola www.ramaditya.com akhirnya membawa penulis bekerja sebagai salah satu reporter tunanetra untuk Yayasan Mitra Netra. Tahun 2005, penulis menjadi salah satu dari lima jurnalis tunanetra yang mengisi kanal Mitra Netra News Online (MNO), yaitu program kerja kolaborasi Yayasan Mitra Netra dan Samsung untuk mengetengahkan berita-berita seputar penyandang disabilitas secara online.
Selanjutnya, penulis aktif sebagai kolumnis lepas untuk DetikINET, media pemberitaan online di Indonesia yang menyajikan berita seputar teknologi informasi dan komunikasi. Lewat DetikINET, penulis tak hanya memberitakan seputar video games, tapi juga informasi mengenai teknologi serta pemanfaatannya bagi penyandang disabilitas. Penulis juga memanfaatkan internet sebagai sumber informasi utama belajar dan penggalian pengetahuan. Penulis banyak mengumpulkan eBook yang penulis unduh, serta buku-buku yang telah diubah ke format audio. Salah satu situs buku audio yang menjadi langganan penulis berbelanja buku adalah www.audible.com, di mana penulis dapat memperoleh buku-buku berformat audio dalam berbagai kateori.
Dengan memanfaatkan internet pula penulis dapat membangun jaringan perkawanan dan komunikasi. Saat ini penulis telah memiliki  beberapa akun jejaring sosial dan program komunikasi, di antaranya facebook, Twitter, Youtube, dan Yahoo Messenger. Semuanya dapat diakses melalui www.ramaditya.com.
 3.4.5. Gadget
Berikut ini beberapa perangkat teknologi informasi yang penulis gunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan telah banyak menunjang aktivitas penulis. Perangkat-perangkat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Telepon genggam. 
Dulunya penulis hanya menggunakan telepon genggam untuk menerima dan melakukan panggilan saja, dan apabila ada pesan masuk harus dibacakan oleh orang lain. Sejak memiliki ponsel yang dilengkapi pembaca layar, penggunaan telepon genggam tidak hanya sebatas komunikasi suara, namun sudah melibatkan pemanfaatan SMS dan internet.
Saat ini penulis telah memakai telepon genggam dengan system operasi Android dan antarmuka layar sentuh. Secara umum sekitar 80% fitur telepon genggam sudah dapat penulis akses.
b. Voice Recorder
Perangkat ini penulis gunakan untuk merekam peristiwa atau kejadian ke format audio, sehingga dapat penulis gunakan untuk berbagai keperluan. Penulis memanfaatkan voice recorder saat melakukan wawancara, belajar di kelas dan kebutuhan dokumentasi lainnya.
c. Multimedia Player
Multimedia player merupakan perangkat yang dapat memainkan file-file multimedia, baik audio maupun video. Penulis memanfaatkannya sebagai media hiburan, karena lebih ringkas dan efektif ketimbang memakai kaset atau CD. Ada pun perangkat multimedia player yang penulis gunakan adalah iPod Shuffle, karena sangat mudah digunakan oleh tunanetra

3.5. Semangat Hidup
3.5.1. Faktor Internal
Penulis menempatkan poin-poin di bawah ini sebagai faktor primer yang mutlak mempengaruhi semangat hidup penulis, diantaranya :
a. Iman pada Allah SWT.
Saat penulis iman kepada Allah, bahwa segala ciptaannya diciptakan dalam wujud yang paling sempurna dan menurut fungsinya, maka penulis percaya bahwa kelahiran penulis sebagai tunanetra tentu telah dirancang oleh Allah SWT, dan Allah SWT tentu akan selalu mendampingi segala ciptaannya, dan Allah SWT tidak akan membebankan cobaan yang melebihi kemampuan hambanya. Dengan kata lain, Allah yang telah menciptakan penulis sebagai tunanetra telah memberikan yang terbaik bagi penulis, dan penulis Insya Allah dapat menjalani kehidupan dengan baik, karena Allah telah menyesuaikan ujian sesuai kemampuan penulis.
b. Rasa syukur. 
Nilai ini ditanamkan oleh kedua orangtua, namun pada kenyataannya aplikasi dari rasa syukur ini penulis jalankan dalam diri penulis sendiri. Saat menyadari bahwa penulis memiliki kekurangan berupa kebutaan, penulis tidak menganggapnya sebagai cacat yang membedakan derajat penulis dengan orang lain. Penulis mencoba memperhatikan orang-orang dengan keterbatasan fisik yang jauh lebih tidak beruntung dibandingkan penulis, misalnya penyandang bisu tuli yang meskipun dapat melihat namun tidak dapat mendengar atau berbicara. Meski demikian, mereka masih dapat berkarya dan hidup dengan baik, artinya penulis yang memiliki kondisi fisik lebih sempurna seharusnya dapat berkarya dan hidup lebih baik.
c. Niat dan cita-cita.
Dengan membangun niat dan cita-cita yang positif, maka penulis tidak lagi terfokus pada masalah yang timbul akibat kebutaan yang penulis alami, tetapi berusaha mencari solusi bagaimana meneguhkan niat dan mewujudkan cita-cita yang penulis rencanakan. 
d. Kegemaran pribadi.
Meyakini bahwa hidup perlu diisi dengan hal-hal yang menyenangkan juga turut membantu meningkatkan semangat hidup penulis. Dengan menikmati kegemaran pribadi, penulis dapat mengantisipasi stress atau tekanan jiwa yang berlebihan. Salah satu kegemaran pribadi penulis adalah bermain video games, membaca, menulis, nonton bioskop, koleksi pernak-pernik Star Wars, dan rekreasi. 
3.5.2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor di bawah ini penting dimiliki oleh individu berkebutuhan khusus seperti penulis, namun apabila faktor-faktor ini tidak dimiliki, asalkan memiliki faktor-faktor internal, semangat hidup masih dapat dicapai.
a. Dukungan keluarga.
Tak dapat dipungkiri bahwa dukungan orang-orang terdekat, dalam hal ini keluarga, sangat berperan penting dalam memberikan semangat hidup bagi penulis. Dengan adanya dukungan baik berupa materi maupun moral, aktivitas sehari-hari penulis menjadi lebih mudah, karena saat menjalaninya penulis mendapatkan restu yang sangat dibutuhkan penulis, terutama sebagai penyemangat hidup apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
b. Penerimaan lingkungan.
Hidup di tengah-tengah masyarakat yang mendukung keberadaan dan aktivitas penulis merupakan salah satu hal yang dapat memberikan semangat yang cukup besar, karena penerimaan tersebut dapat menjadi tolok ukur bagi penulis bahwa penulis adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga berarti dan berguna tidak hanya untuk diri penulis tapi juga untuk orang lain.
c. Sarana dan prasarana.
Dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai, maka penulis akan dapat lebih mudah menjalani aktivitas sehari-hari. Apbila sarana dan prasarana tersebut tidak tersedia dengan baik atau dengan kata lain tidak memadai, kemungkinan tantangan hidup yang penulis hadapi akan lebih sulit. Dengan bertambah mudahnya tantangan hidup yang penulis hadapi, maka motivasi untuk hidup maju dan memanfaatkan sarana serta prasarana yang tersedia akan meningkat, sehingga hasil yang akan penulis peroleh akan jauh lebih baik lagi.




Berlangganan Untuk Mendapatkan Artikel Terbaru:

0 Komentar Untuk "PENGARUH MOTIVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG TUNANETRA"

Posting Komentar