IBX5980432E7F390 REPRODUKSI REMAJA BERWAWASAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT SEBAGAI SUPLEMEN BAHAN AJAR BIOLOGI DI SMA - Belajar Ilmiah

REPRODUKSI REMAJA BERWAWASAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT SEBAGAI SUPLEMEN BAHAN AJAR BIOLOGI DI SMA

1.  Pendahuluan
Pelaksanaan fungsi reproduksi pada manusia, selain merupakan fungsi Biologis juga dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Perkembangan seksual sebenarnya telah dimulai sejak awal kehidupan manusia dan ketika seorang bayi dilahirkan, secara Biologis atau fisik, telah dapat diidentifikasi sebagai laki-laki atau wanita. Perkembangan seksual secara fisik (fisikoseksual) kemudian terus berlangsung sesuai dengan perkembangan fisik. Seiring dengan perkembangan fisikoseksual, terjadilah perkembangan psikoseksual anak. Perkembangan fisikoseksual dan psikoseksual harus berjalan selaras agar kehidupan seksual normal (Pangkahila, 2001). 
Setelah memasuki masa remaja, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan merasakan adanya dorongan seksual. Dorongan seksual ini menjadi semakin kuat bila ada rangsangan seksual dari luar, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Pada masa kini rangsangan seksual dari luar sangat mudah didapat dan diterima khususnya oleh remaja. Kepada anak sekolah dan remaja diekspos barang-barang cetak (buku, majalah, foto) atau film (vidio,VCD) yang bersifat porno atau cabul (Iskandar,1995). Keadaan ini dapat mendorong seseorang ingin melakukan aktivitas seksual, bahkan hubungan seksual. Karena ketidakmengertian dan ketidaksiapan, hubungan seksual menimbulkan banyak masalah di kalangan remaja yang akhirnya merugikan diri sendiri dan keluarga.
Persoalan reproduksi remaja menjadi sorotan karena setiap keluarga menginginkan anaknya sehat berkualitas termasuk kesehatan reproduksinya. Upaya memberdayakan remaja melalui pendidikan kesehatan reproduksi dihadang oleh mitos, yaitu tabu membicarakan masalah yang berbau seks, baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini mengakibatkan informasi reproduksi yang dimiliki remaja (siswa SMA) sangat minim. Ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI dan Yayasan Kusuma Buana di berbagai tempat di Indonesia (Beni,1995). Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ditunjukkan pula oleh hasil penelitian Hatmadji dan Siregar  yang menggunakan responden remaja belum menikah berumur 15 – 24 tahun. Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang keterkaitan antara terjadinya kehamilan, tingkat kedewasaan wanita, dan pengetahuan tentang terjadinya kehamilan (Hatmadji,1995). Ketidaktahuan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi tersebut membuat mereka rentan terhadap informasi yang keliru dan perilaku yang negatif sehingga menimbulkan kecemasan dan frustasi dalam menghadapi masalah seksual mereka. Kefrustasian itu sering berwujud dalam bentuk seks bebas (berhubungan seks dengan sembarang orang), peningkatan tindak kejahatan (kekerasan) seks yang memprihatinkan, penyakit menular seksual termasuk AIDS, kehamilan yang tidak dikehendaki, ibu-ibu yang masih remaja, dan perilaku seks yang menyimpang (Kothari,2001). Salah satu sumber yang diharapkan dapat memberikan informasi tersebut terutama adalah pendidikan di sekolah, selain seminar, lokakarya, dan media masa (Djaelani J,1995).
Tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada remaja sebagai upaya untuk membantu remaja dalam menghadapi permasalahan reproduksinya telah sering dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah baik di tingkat suatu lembaga, daerah, regional, nasional, maupun tingkat internasional. Akan tetapi, implementasi pendidikan kesehatan reproduksi khususnya di sekolah belum didisain dengan baik.
Dalam kurikulum 2004 untuk mata pelajaran Biologi yang berlaku di SMA, disebutkan bahwa salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa adalah memahami struktur dan fungsi sistem reproduksi manusia. Materi pokok meliputi menstruasi, fertilisasi, kehamilan, kelainan pada sistem reproduksi, dan ASI.  Hal ini berarti bahwa dalam pelajaran Biologi telah terdapat pembahasan yang menyentuh tentang kesehatan reproduksi, dan berarti pula bahwa siswa (remaja) SMA seyogyanya telah mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Hanya saja seberapa jauh proses pembelajaran tersebut dapat menjangkau permasalahan kesehatan reproduksi remaja? Hal inilah yang perlu dikaji lebih lanjut, dengan mengupayakan proses pembelajaran yang lebih efektif.
Dari hasil telaah buku paket Biologi dan buku Biologi yang digunakan di SMA dalam pokok bahasan Sistem Reproduksi, diketahui bahwa sebagian besar permasalahan kesehatan reproduksi belum diuraikan secara rinci. Untuk mengatasi keadaan tersebut, dipandang perlu dikembangkan suatu modul tentang kesehatan reproduksi remaja sebagai suplemen bahan ajar Biologi. Siswa tidak hanya dituntut untuk memahami tentang kesehatan reproduksi, tetapi juga diharapkan dapat menggunakan pemahamannya tersebut dalam menghadapi permasalahan kesehatan reproduksi dalam kehidupan sehari-hari khususnya permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Melalui proses pembelajaran dengan menggunakan modul berwawasan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM), diharapkan siswa dapat meningkatkan pemahamannya tentang kesehatan reproduksi yang dapat membantu siswa (remaja) dalam memberdayakan dirinya untuk kehidupan reproduksi yang sehat. 
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kebutuhan tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja, dan  ditindaklanjuti dengan pengembangan modul kesehatan reproduksi remaja berwawasan sains-teknologi masyarakat yang nantinya dapat digunakan sebagai salah satu sumber belajar kesehatan reproduksi remaja siswa SMA.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan, yaitu pengembangan modul kesehatan reproduksi remaja yang nantinya digunakan sebagai salah satu sumber belajar kesehatan reproduksi di SMA. Model pengembangan yang digunakan mengacu pada model pengembangan Dick dan Carey (1990). Pengembangan terdiri dari lima tahap, yaitu (1) tahap penetapan mata pelajaran; (2) tahap analisis kebutuhan; (3) tahap pengembangan modul kesehatan reproduksi remaja berwawasan STM; (4) tahap penyusunan modul kesehatan reproduksi remaja berwawasan STM; dan (5) tahap review/ujicoba. 
Populasi penelitian ini adalah guru-guru Biologi, guru Bimbingan Konseling, siswa kelas II SMA, dan orang tua siswa kelas II SMA di Kecamatan Buleleng. Sampel penelitian ditentukan dengan tehnik pengambilan sampel berganda (multistage sampling), dan jumlah kelas yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah 16 kelas, dengan jumlah siswa 466 orang.
Objek penelitian ini adalah (1) profil pengetahuan kesehatan reproduksi remaja siswa SMA; (2) mitos-mitos yang ada di kalangan siswa SMA yang berkaitan dengan  proses dan sistem reproduksi pada remaja; (3) sumber informasi pengetahuan kesehatan reproduksi remaja siswa SMA, (4) masalah-masalah yang dihadapi siswa SMA berkaitan dengan kesehatan reproduksinya; (5) konsep-konsep yang telah diberikan di SMA yang berkaitan KRR; (6) pandangan siswa, guru Biologi, guru BK, orang tua siswa, dan kepala sekolah tentang pendidikan KRR di SMA; (7) masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi guru Biologi dalam pembelajaran yang berkaitan dengan system reproduksi pada manusia; dan (8) konsep-konsep yang perlu dibahas atau dicantumkan dalam modul KRR berwawasan STM  Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, kemudian diuraikan secara naratif. 
Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut, disusun modul kesehatan reproduksi remaja sebagai suplemen bahan ajar Biologi di kelas II SMA dan sebagai sumber belajar kesehatan reproduksi remaja, sehingga dapat membantu remaja mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dari penyebaran kuesioner kepada siswa, guru Biologi, guru BK, orang tua siswa, dan wawancara dengan kepala sekolah, guru Biologi, guru BK, serta observasi kegiatan pembelajaran di kelas, diperoleh data sebagai berikut.

3.1  Profil Pengetahuan Awal Siswa tentang Kesehatan Reproduksi Remaja
Dalam penelitian ini, materi kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang diukur meliputi pemahaman remaja tentang anatomi dan fisiologi sistem reproduksi manusia, aborsi, alat kontrasepsi, penyakit menular seksual (PMS) dan AIDS, serta teknologi reproduksi. Hasil tes pada  466 siswa SMA kelas II, yang terdiri dari 269 orang siswa laki-laki dan 197 orang siswa perempuan menunjukkan bahwa pengetahuan siswa masih rendah mengenai fisiologi sistem reproduksi, terutama yang berkaitan dengan fungsi hormonal pada sistem reproduksi. Pengetahuan tentang perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja juga masih kurang (ketercapaian16,74%). Siswa juga mempunyai pengetahuan yang masih rendah (ketercapaiannya 8,15%) mengenai mekanisme kerja alat kontrasepsi. Untuk sejumlah konsep tentang penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, pengetahuan siswa cukup baik mengenai cara penularan PMS dan AIDS (dengan ketercapaian 64,38% dan 77,25%). 
Hasil tes ini menunjukkan bahwa siswa SMA sudah memiliki pengetahuan awal tentang KRR, hanya saja masih rendah. Dengan mengetahui profil pengetahuan awal yang dimiliki siswa, guru Biologi dan guru BK diharapkan dapat mengemas materi KRR, merencanakan strategi  pembelajaran dengan lebih efektif dan efisien.

3.2 Mitos-mitos yang Ada pada Siswa SMA tentang KRR
Hasil wawancara dengan guru Biologi, guru BK, dan jawaban kuesioner siswa, serta hasil observasi kegiatan pembelajaran di kelas, menunjukkan bahwa didapat mitos-mitos masih dimiliki siswa SMA, antara lain (1) darah yang dikeluarkan pada saat menstruasi adalah darah kotor; (2) masalah reproduksi hanya merupakan masalah suami-istri; (3) memakai celana ketat dapat menyebabkan disfungsi ereksi; (4) dorongan seks laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan; (5) keperawanan dapat diindikasikan dengan keluarnya darah pada saat selaput dara (hymen) robek; (6) masturbasi dapat menyebabkan engsel lutut berbunyi; (7) seks adalah sesuatu yang kotor, jahat, dan buruk; dan (8) masturbasi yang terlalu sering dapat menyebabkan kemandulan
Mitos KRR dapat menghambat pemahaman remaja tentang KRR. Oleh karena itu dengan mengetahui sejumlah mitos yang masih dipercaya oleh remaja, guru berupaya memberikan informasi secara ilmiah sehingga remaja (siswa) mempunyai pengetahuan KRR yang benar.

3.3 Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja Siswa SMA
Dari penelitian diperoleh bahwa sumber informasi KRR terbanyak bagi remaja pria adalah teman sebaya (59,11%) dan dari media elektronik (52,79%). Sedangkan sumber informasi remaja putri mengenai KRR paling banyak mereka dapatkan dari guru (65,48%) dan dari media cetak (62,44%). Dengan mengetahui sumber informasi KRR bagi siswa, pendidikan KRR dapat diprogramkan dengan lebih baik. Misalnya, pendidikan KRR dapat diberikan oleh guru yang berkompeten di sekolah, dan dilengkapi dengan buku acuan yang memadai agar remaja lebih mengetahui dan memahami tentang KRR. Modul KRR yang disusun dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi bagi guru dan siswa.
Remaja mendapatkan informasi KRR dari teman sebaya. Keadaan ini dapat berakibat kurang baik karena teman sebaya (sesama remaja) memiliki pengetahuan reproduksi yang masih minim, di samping sejumlah mitos yang masih dipercaya oleh remaja. Akan tetapi, jika remaja sudah disiapkan dengan baik dan benar mengenai pemahamannya tentang KRR, pemanfaatan teman sebaya sebagai sumber informasi tentunya akan berhasil dengan baik. Hal ini sesuai dengan perkembangan psikologi di masa remaja, di mana pada masa ini remaja mulai membentuk kelompok-kelompok (peer group). Hal ini dapat dimanfaatkan dengan memberi pelayanan KRR menggunakan sistem “peer councelor” atau “peer educator”. Agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dan berhasil dengan baik, program pemberdayaan remaja dalam bidang KRR harus dikemas dengan baik dan berkelanjutan, sehingga remaja yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang KRR akan dapat menularkannya pada teman-teman sesama remaja.

3.4  Masalah-masalah Kesehatan Reproduksi yang Dihadapi Siswa SMA dan Pandangan Mereka tentang Kesehatan Reproduksi
Dari kuesioner didapat data bahwa remaja perempuan SMA mengalami masalah reproduksi seputar proses menstruasi dan keluhan yang merupakan sindroma pramenstrual sebanyak 42 orang (21,32 %), masalah keputihan sebanyak 11 orang (5,58%), dan perubahan fisik yang dialami remaja sebanyak 13 orang (6,60%). Sedangkan remaja laki-laki mengalami masalah pada perubahan fisik dengan munculnya tanda kelamin sekunder (10,41%) dan masalah sulitnya mengendalikan dorongan seksual (4,5%). Sebagian besar siswa laki-laki  menyampaikan masalah yang dihadapi dengan temannya, demikian juga siswa perempuan. Ada pula siswa laki-laki (7,5%) dan siswa perempuan (9,1%) tidak menceriterakan kepada siapapun masalah reproduksi yang dihadapinya. 
Sebagian besar siswa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak menganggap tabu pembicaraan tentang masalah kesehatan reproduksi. Alasan yang mereka sampaikan bahwa menghadapi derasnya arus informasi tentang reproduksi pada zaman globalisasi akan dapat berakibat kurang baik bagi remaja jika mereka tidak memahami tentang reproduksi. Untuk itu, mereka harus mendapatkan informasi yang benar dan seluas-luasnya berkaitan dengan proses reproduksi ataupun permasalahan yang berkaitan dengan KRR. Menurutnya, mereka harus mendapatkan penjelasan yang benar dari sumber yang relevan tentang proses reproduksi beserta permasalahan yang sering muncul berkaitan dengan KRR, sehingga mereka menjadi lebih memahami dan dapat menjaga diri agar tetap sehat. Oleh karena itu membicarakan masalah reproduksi yang sesuai untuk remaja bukan lagi merupakan masalah yang tabu.
Sebagian besar siswa (laki-laki = 78,81% dan perempuan = 85,78%) menyatakan perlu diberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) di sekolah, dengan alasan bahwa guru (terutama guru Biologi) dianggap relevan untuk memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi. Dengan mengetahui dan memahami KRR, remaja dapat menjaga organ reproduksinya dan dapat mengambil keputusan dengan benar bila menghadapi permasalahan tentang reproduksi. Sejumlah siswa (laki-laki = 21,19%, dan perempuan = 14,22%) tidak setuju diberikan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, karena lebih baik diberikan oleh orang tua atau petugas kesehatan, seperti dokter ahli, bidan, dan petugas kesehatan yang lain. 

3.5  Konsep-konsep yang Diberikan di SMA yang Berkaitan dengan KRR
Salah satu standar kompetensi dasar mata pelajaran Biologi kelas XI di Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah pada Kurikulum 2004 adalah mengaitkan struktur, fungsi, proses dan kelainan/penyakit yang terjadi pada sistem reproduksi organisme. Materi pokok yang diberikan meliputi anatomi sistem reproduksi, fungsi organ-organ reproduksi, proses menstruasi, fertilisasi, kehamilan, kesehatan reproduksi, dan ASI. Hasil telaah terhadap perangkat pembelajaran menunjukkan bahwa materi kesehatan reproduksi lebih banyak ditekankan pada anatomi dan fisiologi sistem reproduksi serta pada upaya mencegah penyakit atau gangguan yang berkaitan dengan sistem reproduksi. Kajian tentang isu-isu yang berkembang di masyarakat mengenai KRR kurang mendapatkan perhatian. Strategi pembelajaran yang digunakan didominasi oleh diskusi informasi dan pemberian tugas. 
Materi pokok mata pelajaran Biologi tentang KRR sudah memadai, tetapi strategi pembelajaran yang digunakan perlu disempurnakan, misalnya dengan menggunakan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM). Dengan pendekatan STM dapat dikaji secara bermakna isu-isu KRR yang ada di masyarakat. Dengan demikian, siswa belajar reproduksi tidak hanya untuk ulangan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah untuk menjaga dan memelihara kesehatan organ reproduksinya.
3.6  Pandangan Guru Biologi  dan Guru BK tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Hasil telaah terhadap buku-buku Biologi yang digunakan menunjukkan bahwa belum ada buku yang disusun dengan berwawasan sains teknologi masyarakat. Isu-isu yang berkaitan dengan KRR (seperti penyakit menular seksual dan bayi tabung) dikemas dalam bentuk tugas pada rancangan pembelajaran atau skenario pembelajaran, sedangkan HIV dan AIDS lebih banyak dibahas pada sistem sirkulasi. Pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas, isu-isu yang berkaitan dengan KRR akan dibahas jika ada pertanyaan dari siswa. Alasan yang diberikan, dan kenyataan aktual di kelas, guru kekurangan waktu untuk menjelaskan lebih luas dan mendalam. Dengan menggunakan modul KRR berwawasan STM, waktu tatap muka di kelas dapat dikurangi karena, dengan modul, siswa dapat belajar di rumah, baik secara mandiri maupun berkelompok.
Program BK yang disusun berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja adalah perkembangan remaja (biofisik remaja), psikologi remaja (ciri-ciri remaja dan permasalahan remaja), dan tugas-tugas perkembangan remaja serta perencanaan hidup berkeluarga. Program ini diberikan di kelas satu (X) SMA. Untuk mendukung program tersebut, buku-buku yang digunakan, antara lain: Modul Bimbingan Konseling (Depdiknas DKI Jakarta) dan  buku-buku yang berkaitan dengan psikologi remaja. Buku yang digunakan belum ada yang disusun berwawasan sains-teknologi masyarakat. 
Permasalahan yang cukup sering disampaikan oleh siswa perempuan kepada guru BK adalah rasa sakit pada saat menstruasi, menstruasi tidak teratur, sedangkan oleh siswa laki-laki adalah dorongan seksual yang tinggi, dan hubungan seksual sebelum menikah. Kendala yang dihadapi guru BK dalam menangani masalah reproduksi adalah kurangnya buku sumber yang diacu dan kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan anatomi dan fisiologi sistem reproduksi pada remaja. 

3.7  Pandangan Orang Tua Siswa tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di SMA
Permasalahan yang umumnya disampaikan oleh remaja  kepada orang tuanya adalah pengaruh pertumbuhan fisik pada proses reproduksi, keputihan, sakit pada saat menjelang atau pada saat menstruasi (haid), masalah libido yang meningkat, kekerasan seksual, menikah pada usia remaja, proses melahirkan, dan penyakit kandungan.
Orang tua menjelaskan permasalahan yang disampaikan putra/putri mereka dengan cara menjelaskan seadanya sesuai dengan yang diketahui dengan bahasa yang mudah dipahami (karena sebagian besar orang tua kurang memahami tentang proses reproduksi), mendiskusikan dengan anak masalah yang disampaikan, menyediakan bacaan yang relevan, menjelaskan secara santai segi negatif dari perilaku seksual. 
Menurut orang tua siswa, remaja (siswa) perlu mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dengan alasan sebagai berikut. (1) Selama ini para remaja belum memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar dan memadai. Dengan mengetahui kesehatan reproduksi dengan benar remaja akan dapat menyiapkan diri dan memfungsikan dirinya sesuai hakikatnya sebagai manusia; dan (2) Pengetahuan dan wawasan remaja tentang kesehatan reproduksi perlu ditambah sehingga remaja dapat merawat organ reproduksinya agar tetap sehat, mencegah perilaku reproduksi yang kurang baik, membuat keputusan yang tepat jika berhadapan dengan masalah kesehatan reproduksi sehingga remaja dapat tumbuh berkembang menjadi remaja sehat reproduksi.
Kendala yang dihadapi orang tua dalam memberikan informasi tentang KRR pada anak mereka adalah berikut ini (1) 73,3 % orang tua menyatakan kurang percaya diri menginformasikan atau menjelaskan tentang kesehatan reproduksi karena terbatasnya pengetahuan yang mereka miliki. (2) 20,28 % orang tua merasa sulit menyampaikan karena tidak tahu metode yang tepat. Mereka mempunyai kekhawatiran bahwa penjelasan yang mereka berikan tentang kesehatan reproduksi justru akan mendorong anak mereka untuk berperilaku yang tidak baik berdasarkan norma, agama, dan kesehatan. 3) 43,61 % dari orang tua merasa tidak biasa, malu, dan tabu membicarakan masalah reproduksi dengan anak-anak mereka. 
Sebanyak 88,06% orang tua setuju remaja diberikan informasi kesehatan reproduksi melalui pelajaran Biologi dengan menggunakan modul dengan alasan (1) dengan modul, remaja akan mengetahui dan menggali sendiri informasi tentang KRR; (2) pelajaran Biologi adalah pelajaran yang paling berkaitan dengan KRR; (3) guru Biologi (seharusnya) dapat memberikan informasi secara ilmiah dan terhindar dari kesan porno; dan (4) remaja lebih dapat memahami KRR, dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang menjadi remaja yang sehat reproduksi
Sebanyak 11,94% orang tua tidak setuju informasi KRR diberikan bersama pelajaran Biologi dengan menggunakan modul, dengan alasan sebagai berikut.  (1) Sistem modul kurang pas untuk anak yang kesempatan membacanya terbatas, dan jika ada yang kurang jelas tidak bisa ditanyakan secara langsung. (2) Walaupun Biologi berkaitan erat dengan KRR, tetapi sebaiknya informasi KRR diberikan tersendiri (merupakan mata pelajaran tersendiri) agar remaja lebih banyak menerima informasi KRR. (3) Informasi tentang KRR lebih baik diberikan oleh petugas kesehatan atau ahli di bidang itu 

3.8 Pandangan Kepala Sekolah  tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di SMA
Dari hasil wawancara dengan kepala-kepala sekolah didapatkan data bahwa pada prinsipnya semua kepala sekolah setuju jika kepada siswa SMA diberikan pendidikan kesehatan reproduksi dengan alasan bahwa karena derasnya arus informasi di era globalisasi seperti saat ini, remaja sangat mudah mengakses tentang proses reproduksi yang tidak bertanggungjawab yang dapat menimbulkan dampak negatif pada KRR. Sementara ini, pihak sekolah sudah mencoba mengantisipasi dampak negatif dari  informasi yang diterima remaja yang secara alami sedang mengalami perkembangan seksualitas melalui kegiatan-kegiatan, antara lain kegiatan ekstrakurikuler, mengikutkan siswa pada seminar-seminar tentang KRR, menghadirkan pembicara/nara sumber KRR di sekolah, dan ikut pelatihan tenaga kader yang dilakukan BKKBN.   Karena dalam kurikulum yang sedang berlaku di SMA belum ada pendidikan KRR, semua kepala sekolah setuju bahwa pendidikan KRR diberikan melalui pelajaran Biologi dan merupakan salah satu program BK, sehingga siswa yang tidak mendapatkan pelajaran Biologi juga mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai KRR. Bahkan untuk ke depan, sejumlah kepala sekolah (62,5%) mengharapkan kepada pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional, agar benar-benar merancang adanya mata pelajaran yang khusus berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja seperti yang pernah diwacanakan. 
Untuk jangka pendek, sejumlah kepala sekolah (62,5%) mengharapkan Departemen Pendidikan Nasional dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Kesehatan merancang suatu program yang dapat dilaksanakan secara kontinu yang bertujuan untuk memberdayakan remaja dalam bidang kesehatan reproduksi.

4. Penutup
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan di depan, dapat diambil simpulan sebagai berikut. (1) Siswa SMA telah memiliki pengetahuan awal tentang kesehatan reproduksi remaja, walaupun masih  minim. (2) Ada sejumlah mitos yang berkaitan tentang sistem reproduksi yang disetujui kebenarannya oleh siswa. Mitos ini akan dapat memperburuk tanggapan dan pemahaman siswa tentang KRR. (3) Ada sejumlah permasalahan kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja, dan sumber informasi utama remaja (siswa SMA) tentang reproduksi adalah guru, teman sebaya, media cetak, media elektronik, dan orang tua. (4) Siswa, guru Biologi, guru BK, kepala sekolah, dan juga orang tua siswa setuju dengan adanya pendidikan kesehatan reproduksi remaja di SMA yang dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran Biologi. (5) Masalah instruksional yang dihadapi oleh guru Biologi dan guru BK adalah kurang tersedianya buku yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja di sekolah. (6) Untuk membantu siswa (remaja) mendapatkan sumber informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi, diperlukan pengembangan modul kesehatan reproduksi remaja berwawasan sains teknologi masyarakat. 
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut. (1) Siswa SMA (remaja) sangat perlu informasi tentang KRR agar mereka dapat menjalani kehidupan reproduksi dengan sehat pada saat ini dan di masa mendatang. Guru Biologi dipercaya oleh siswa sebagai salah satu sumber informasi yang relevan untuk memberikan pengetahuan tentang KRR. Oleh karena itu, diharapkan sekolah dengan pihak terkait dapat mengambil kebijakan untuk mengemas informasi KRR dalam program yang terencana dan dapat diimplementasikan dengan baik. (2) Guru Biologi dan guru BK hendaknya meningkatkan kompetensinya dalam bidang KRR melalui kegiatan ilmiah seperti seminar, lokakarya, pelatihan, dan penyediaan sumber belajar, karena mereka merupakan sumber informasi KRR bagi siswa. Dengan menggunakan modul kesehatan reproduksi remaja berwawasan sains teknologi masyarakat, diharapkan guru Biologi dan guru BK dapat membantu remaja dalam memahami tentang kesehatan reproduksinya. (3) Media cetak dan elektronik juga merupakan sumber informasi KRR bagi remaja. Oleh karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan KRR dan media audio-visual serta informasi KRR melalui internet hendaknya mengemas informasi mengenai KRR secara edukatif, menarik, dan mudah dipahami. Sumber informasi KRR dari media cetak maupun elektronik tidak saja dimanfaatkan oleh remaja, tetapi juga orang tua dan anggota masyarakat lain. Orang tua sebenarnya merupakan sumber informasi yang pertama dan utama bagi anak dan remaja mengenai KRR. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa sebagian besar pengetahuan dan pemahaman orang tua tentang KRR kurang memadai. Oleh karena itu, diharapkan orang tua siswa dapat menyerap informasi KRR dari berbagai sumber sehingga dapat membantu putra-putrinya dalam masalah KRR. (4) Masalah kesehatan reproduksi remaja merupakan tanggungjawab bersama, bukan hanya tanggungjawab sekolah maupun keluarga. Oleh karena itu, kepada pemerintah melalui lembaga terkait hendaknya dalam menyusun program yang berkaitan dengan pemberdayaan remaja dalam KRR memperhatikan tentang apa yang dihadapi dan diinginkan oleh remaja, sehingga implementasi program tersebut dapat terlaksana secara efisien dan efektif. 

DAFTAR PUSTAKA
Beni, R. 1995. Kesehatan Reproduksi Remaja: Ikhtiar Meretas Mitos. Warta Demografi, 25(4): 4-8.
Dick, W. dan l. Carey.1990. The Systematic design of instruction, 3rd ed. USA: Harper Cllins.
Djaelani, J. 1995. Kebijakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja. Warta Demografi, 25(4):25-29.
Hatmaji, DH. 1995. Kesehatan Reproduksi: Hasil Peneltian Dari Beberapa Negara. Warta Demografi, 25(4):18-24.
Iskandar. 1995. Fenomena Sosial Dalam Kesehatan Reproduksi. Warta Demografi, 25(4): 30-35.
Mohamad, K. 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Sinar Agave.
Pangkahila, W. 2001. Seksualitas Remaja dan Permasalahannya. Makalah. Disampaikan pada seminar akademik Program Studi Biologi STKIP Singaraja.
Wiyono, N.H. 1995. Kesehatan Reproduksi: Antara Kenyataan dan Harapan. Warta Demografi, 25(4):9-13.

Berlangganan Untuk Mendapatkan Artikel Terbaru:

0 Komentar Untuk "REPRODUKSI REMAJA BERWAWASAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT SEBAGAI SUPLEMEN BAHAN AJAR BIOLOGI DI SMA"

Posting Komentar